Bisnis.com, JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta merilis upah layak untuk jurnalis pada 2020. Organisasi pers itu menyebut upah layak 2020 untuk jurnalis di DKI Jakarta Rp8.793.081 per bulan.
Sekretaris AJI Jakarta Afwan Purwanto mengatakan angka itu mempertimbangkan beberapa komponen hidup layak yang diatur dalam penentuan Upah Minimum Provinsi pemerintah dan kebutuhan lainnya.
“Seperti makan, pakaian, rumah, perangkat elektronik, kebutuhan lain, dan tabungan,” ujar Afwan dalam Diskusi Upah Layak dan Bahaya Omnibus Law bagi Jurnalis di Sekretariat AJI Jakarta melalui keterangan resmi pada Minggu (26/1/2019).
Dia menilai komponen yang digunakan oleh pemerintah untuk menentukan UMP tak sesuai dengan kebutuhan jurnalis yang memerlukan beragam sarana penunjang.
Adapun, Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan Upah Minimum Provinsi tahun 2020 sebesar Rp 4.267.349,- dari yang sebelumnya senilai Rp 3.940.973. Survey upah layak tersebut telah dilakukan pada November 2019.
Dia menyebut 144 jurnalis dari 37 media yang mengikuti survei ini. Dalam survei itu, AJI Jakarta menemukan setidaknya 28 jurnalis mendapatkan upah di bawah atau sama dengan Rp4.000.000,- dari berbagai jenis media: TV dan online.
Dalam paparannya, AJI menemukan upah paling rendah yang diterima jurnalis di DKI Jakarta adalah Rp2,3 juta, jauh di bawah UMP.
Dari jumlah tersebut, sembilan media yang masuk dalam survey masih menggaji jurnalis di bawah UMP. Nantinya dengan survei ini, AJI Jakarta akan melakukan pendekatan persuasif, khususnya kepada para pemilik media yang belum memberikan upah sesuai UMP DKI Jakarta.
Menurutnya, upah yang belum memenuhi standar ini tentu akan menjadi petaka jika pemerintah mengesahkan RUU Omnibus Law atau RUU Cilaka alias Cipta Lapangan Kerja yang bisa mempengaruhi lebih dari 79 undang-undang, termasuk UU Pers dan UU Ketenagakerjaan.
Di sisi lain, Ahmad Fathanah, Pengacara LBH Pers menyebut jurnalis yang masih mendapatkan upah di bawah UMP bisa mengajukan gugatan pidana ke polisi.
Jurnalis, kata dia, juga memiliki hak atas cuti seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan yakni cuti haid, serta upah lembur jika bekerja lebih dari 40 jam dalam seminggu, dan jaminan kesehatan seperti BPJS Ketenagakerjaan yang dapat digugat jika tak diberikan oleh pengusaha.
“Adanya Omnibus Law itu lalu upah minimumnya gimana? Lalu pekerja dibikin outsourcing, ini justru akan mengaburkan hak-hak mereka,” paparnya.
Dalam diskusi ini, Ahmad juga mempersilakan jurnalis yang upahnya tidak sesuai atau tidak dibayarkan untuk berkonsultasi hukum kepada LBH Pers.
Wahyu Dhyatmika, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber, menjelaskan bahwa pihaknya kerap mengingatkan kepada media-media baru untuk melaporkan kondisi keuangan mereka kepada karyawan secara transparan.
Tak hanya itu, Wahyu mengingatkan kepada para pemilik media untuk tak melarang karyawannya mendirikan serikat pekerja.
“Proses mendirikan serikat pekerja di media itu tidak mudah. Seringkali teman jurnalis yang mendirikan serikat diberangus, dimutasi ke bagian lain, bahkan di PHK,” ucapnya.
Dia menambahkan survei ini bisa dijadikan oleh manajemen media dan jurnalis untuk meninjau kelayakan upah bagi jurnalis mereka, sehingga jurnalis pun bisa bekerja dengan profesional.