Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta tegas terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang sudah mangkir dari pemanggilan penyidik berkali-kali.
Terakhir, pada Kamis 9 Januari 2020, Nurhadi mangkir saat dipanggil dengan statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi pada pengurusan perkara di Mahkamah Agung tahun 2011-2016.
Sebelumnya, Nurhadi juga dan dua tersangka lain atas nama Rezky Herbiyono selaku menantunya dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto, juga mangkir sebanyak tiga kali.
Pendiri Lokataru Foundation Haris Azhar mendesak agar KPK melakukan tindakan hukum yang tegas dan pemanggilan paksa terhadap Nurhadi dan dua tersangka lainnya tersebut.
Haris Azhar menyadari bahwa KPK telah memanggil Nurhadi dkk selama tiga kali untuk dimintai keterangan. Namun, kata dia, panggilan tersebut tidak dipenuhi ketiganya dengan alasan yang jelas.
"Sampai saat ini, ketiga tersangka di atas, masih lenggang bebas tanpa ada ketegasan KPK untuk melakukan pemanggilan paksa, pasca-ditetapkan sebagai tersangka," ujar Haris dalam keterangannya pada Bisnis, Minggu (19/1/2020).
Saat ini, ketiga tersangka itu tengah menempuh praperadilan melawan KPK. Sidang praperadilan Nurhadi sudah berjalan dan akan berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Selasa (21/1/2020).
Namun demikian, Haris Azhar menyatakan bahwa terlepas dari adanya permohonan praperadilan yang diajukan tersebut maka tidak ada kewajiban KPK untuk diam.
"Sebaliknya, KPK harus meneruskan tindakan hukum pasca tiga kali pemanggilan [mangkir]," kata Haris.
Jika kasus ini tidak berjalan semestinya, lanjut Haris, maka pihaknya menduga bahwa kepemimpinan KPK Jilid V yang dipimpin Firili terkesan lemah.
Selain itu, kerumitan sistem mengambil keputusan karena UU KPK Baru dinilai bisa menjadi celah yang akan digunakan tersangka untuk kabur dari jerat hukum.
Dia juga mempertanyakan dan menuding bagian penindakan KPK yang terkesan sengaja tidak bekerja dan bermain mata dengan tersangka.
Pihaknya juga khawatir hal ini bagian dari permainan dari tangan-tangan yang tak tersentuh dan tidak terlihat di mana KPK bisa dengan sengaja tidak bertindak sehingga Nurhadi dkk dapat bebas melalui keputusan praperadilan.
"Untuk itu, kami mendesak KPK untuk segera melakukan upaya hukum berupa penangkapan kepada para tersangka dan mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku demi terciptanya kepastian hukum," tuturnya.
Dalam perkara ini, Nurhadi dan Rezky diduga menerima suap dan gratifikasi dengan total Rp46 miliar terkait pengurusan perkara di MA tahun 2011-2016.
Uang suap diduga diberikan salah satunya oleh Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto.
Dalam kasus suap, Nurhadi dan menantunya diduga menerima uang dari dua pengurusan perkara perdata di MA. Pertama, melibatkan PT Multicon Indrajaya Terminal melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero). Kemudian, terkait pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT dengan menerima Rp33,1 miliar.
Selain itu, Nurhadi juga diduga menerima janji berupa sembilan cek dari Hiendra Soenjoto terkait pemenangan Perkara PK di MA.
Adapun terkait gratifikasi, tersangka Nurhadi melalui menantunya Rezky dalam rentang Oktober 2014–Agustus 2016 diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.
Ketiga tersangka sudah dicegah ke luar negeri selama 6 bulan ke depan terhitung sejak Kamis 12 Desember 2019.
Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.