Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas KPK diminta menelusuri dugaan bocornya surat perintah penyelidikan (sprinlidik) atau pengintaian komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Dugaan bocornya sprinlidik Wahyu Setiawan dalam kasus dugaan suap penetapan anggota anggota DPR terpilih pertama kali diungkap anggota komisi III DPR Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu.
Masinton mengaku bahwa dirinya menerima map pada Selasa, 14 Januari 2020 yang belakangan berisi sprilindik terkait kasus dugaan suap komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Menurut Masinton, map itu diberikan di Gedung DPR oleh seseorang yang tak dikenali dan mengaku bernama Novel Yudi Harahap. Belakangan, dia kaget mengapa sprinlidik itu bocor.
"KPK harus menelusuri siapa oknum yang memberikan informasi tersebut kepada Masinton," ujar Hendrik Rosdinar dari Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI), dalam keterangan tertulis, Jumat (17/1/2020).
Tak hanya KPK, dia juga mendesak agar Dewan Pengawas KPK atau Dewas KPK harus turut menelusuri aktor yang memberikan informasi sprinlidik atas nama Wahyu Setiawan kepada Masinton Pasaribu tersebut.
Menurutnya, Dewas KPK sebagai pihak yang berkepentingan harus melaporkan para pihak yang diduga membocorkan informasi Sprinlidik kepada kepolisian dengan menggunakan mekanisme hukum pidana sebagaimana diatur dalam UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Hendrik mengatakan bahwa bocornya surat mengenai proses penanganan perkara di KPK baik pada tingkat penyelidikan maupun penyidikan bukanlah pertama kali terjadi.
Berdasarkan catatan koalisi, kata dia, setidaknya ada empat kasus yang informasinya bocor ke publik.
Pertama, draf surat perintah penyidikan (Sprindik) atas nama mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terkait kasus korupsi proyek Hambalang.
Pada saat itu KPK merespon dengan membentuk komite etik untuk mengusut bocornya surat tersebut. Hasilnya, sekretaris ketua KPK Abraham Samad saat itu, Wiwin Suwandi dipecat karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Kedua, sprindik atas nama Jero Wacik selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu terkait dengan kasus suap di lingkungan SKK Migas.
Ketiga, sprindik atas nama Rachmat Yasin selaku Bupati Bogor terkait kasus pemberian izin di Bogor. Keempat, sprindik atas nama Setya Novanto selaku Ketua DPR saat itu terkait kasus PON di Riau.
Di sisi lain, koisi juga menyoroti tindakan Masinton yang diduga dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan atau membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum. Hal itu bila mengacu pada UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 17 huruf a.
Menurut Hendrik, berdasarkan daftar informasi publik yang dapat diakses melalui situs resmi milik KPK, sprinlidik bukanlah merupakan informasi yang terbuka untuk publik.
"Hal ini mengakibatkan adanya konsekuensi hukum yaitu pidana apabila seseorang menyampaikan informasi yang dikecualikan atau rahasia kepada publik," kata dia.