Bisnis.com, JAKARTA — Sejak beberapa waktu terakhir, foto-foto koala dan kangguru yang terluka dan terjebak di tengah kebakaran hutan Australia tersebar di media sosial dan berita. Dunia pun seakan baru menyadari besarnya skala peristiwa ini.
Sejak September 2019 hingga hari ini, kebakaran hutan yang melanda Benua Kangguru memang belum juga reda. Status waspada dan siaga masih menghiasi peta Australia, baik di situs MyFireWatch yang merupakan platform resmi pemerintah untuk pemantauan lokasi serta perkembangan bencana kebakaran, di Google Map, maupun di peta citra satelit NASA yang merupakan lembaga antariksa AS.
Hingga awal Januari 2020, sekitar 10 juta hektare (ha) lahan hutan, taman, bahkan perumahan terbakar hangus. Luas lahan ini hampir 10 kali lipat dari luas kebakaran hutan yang melanda Amazon tahun lalu, di mana api "hanya" memakan 1,7 juta ha hutan di Amerika Selatan tersebut.
Bicara soal kebakaran hutan di Australia merupakan hal yang kompleks. Perlu dipahami, Australia adalah benua yang memang rentan dengan kebakaran hutan. Seperti masyarakat Indonesia di daerah perkebunan, Australia akrab dengan api untuk meregenerasi lahan.
Tim pemadam kebakaran tengah melakukan pembakaran terkontrol di barat Corryong, Victoria, Australia, Selasa (7/1/2020)./AAP Image via Reuters
Baca Juga
Suku asli Australia yang telah mendiami benua tersebut sejak 10.000 tahun lalu telah memahami pentingnya pengendalian kebakaran hutan.
Dalam kondisi normal, kebakaran hutan dapat disebabkan oleh pembukaan lahan, puntung rokok, dan petir. Dalam kondisi yang saat ini dialami Australia, situasinya diperparah oleh berbagai faktor.
Salah satunya kenaikan temperatur udara yang menurut data Biro Meteorologi Australia mencapai rata-rata 1,5 derajat Celcius pada 2019. Kenaikan suhu udara ini disumbang oleh pemanasan global akibat dari tingginya emisi rumah kaca (greenhouse).
Alhasil, pertengahan Desember 2019, suhu udara di Australia sempat mencapai 42-45 derajat Celcius di beberapa titik, termasuk di negara bagian New South Wales.
Sebagai catatan, kebakaran hutan ini melepaskan karbon dioksida dalam jumlah masif ke atmosfer. Gas emisi yang berada di atmosfer ini menampung panas sehingga efeknya udara di bawahnya akan tetap panas. Hal ini menjelaskan mengapa Australia sulit memadamkan lahan yang terbakar.
Dari catatan cnet.com, kebakaran hutan di Australia diperkirakan telah melepaskan 350 juta metrik ton karbon dioksida.
Organisasi iklim Climate Council menilai kondisi yang dialami benua tersebut saat ini lebih berbahaya dari sebelumnya, melihat dampak kebakaran serta suhu yang makin meningkat. Faktor lainnya adalah anomali musim yang ditunjukkan oleh panjangnya kemarau dan minimnya curah hujan.
Tanaman eukaliptus yang banyak ditemui di hutan-hutan Australia juga menyimpan kandungan minyak. Kandungan minyak ini pun makin memicu cepatnya rambatan api di tengah cuaca kering.
Pakar iklim dari Australian National University (ANU) Nerilie Abram menuturkan kebakaran hutan dipicu oleh empat faktor utama, yaitu material yang memicu kebakaran, keringnya material tersebut, kondisi cuaca yang mempercepat penyebaran api, dan faktor yang memantik api.
"Perubahan iklim memerankan peran karena ini membuat kebakaran hutan di Australia makin meluas dan lebih sering karena efek perubahan iklim berpengaruh pada kekeringan dan cuaca panas," ujarnya, seperti dikutip dari BBC News.
Meskipun kebakaran hutan merupakan hal yang biasa terjadi dalam siklus musim di Australia, Abram menegaskan banyak ilmuwan dan pakar telah memperingatkan kondisi iklim yang makin kering dan panas sehingga bencana ini akan makin intens dan sering.
Mantan Komisaris Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan New South Wales Greg Mullins juga sebenarnya sempat menuliskan surat yang berisi rekomendasi penanganan kebakaran hutan kepada Menteri Sumber Daya Air Australia David Littleproud pada 29 November 2019.
Rekomendasi tersebut terdiri dari 20 aksi yang bisa dijalankan pemerintah federal. Pemerintah federal diminta untuk mengambil tindakan segera untuk membantu upaya pemadaman kebakaran dan perlindungan masyarakat di negara bagian dan kota yang terdampak.
Adapun, langkah-langkah yang direkomendasikan antara lain menambah aset National Aerial Firefighting Centre (NAFC) sehingga pesawat dan armadanya dapat mengangkut hingga 5.000-15.000 liter air; evaluasi sumber daya NAFC; serta penyaluran dana bantuan atau pinjaman bagi NAFC.
Warga yang dievakuasi dari Mallacoota tiba menggunakan kapal HMAS Choules di Hastings, Victoria, Australia, Rabu (8/1/2020)./AAP Image-David Crosling via Reuters
Dalam jangka panjang, Mullins berharap pemerintah memulai pengendalian faktor-faktor pemicu kebakaran hutan, seperti kelembapan, topografi, temperatur, dan jumlah sumber api. Selain itu, dia menyarankan pemerintah membuat acuan pendanaan kebakaran hutan dan penetapan standarisasi bangunan dan rumah untuk menangkal perubahan iklim.
Poin terpenting dari rekomendasinya adalah pemerintah diminta memberikan perhatian besar terhadap risiko cuaca ekstrem ke depannya akibat pemanasan iklim.
"Untuk melindungi warga Australia dari memburuknya kondisi kebakaran hutan dan risiko bencana alam, Australia harus mengakselerasi dan meningkatkan langkah untuk menangani penyebab dasarnya, yakni perubahan iklim," tulis Mullins dalam rekomendasinya.
Dampak Parah
Data yang dikumpulkan dari otoritas Australia hingga 9 Januari 2020 menunjukkan setidaknya 27 orang tewas akibat bencana alam ini. Dari korban jiwa tersebut, pemadam kebakaran menjadi korban terbanyak.
Sementara itu, jumlah rumah yang terbakar mencapai 1.500 rumah, yang umumnya terletak di daerah New South Wales. Negara bagian ini memang menjadi daerah terparah dalam kebakaran hutan kali ini.
Universitas Sydney memperkirakan sebanyak 480 juta hewan mati terjebak kebakaran hutan, kelaparan, dan kehilangan habitat. Dari jumlah tersebut, sekitar 8.000 di antaranya adalah hewan endemik Australia, koala.
Seekor koala yang terluka akibat kebakaran hutan sedang ditangani oleh perawat dan relawan di Kangaroo Island Wildlife Park di Pulau Kangguru, selatan Adelaide, Australia, Jumat (10/1/2020)./AAP Image-David Mariuz via Reuters
Besarnya efek dari kebakaran hutan ini mendorong Perdana Menteri (PM) Scott Morrison untuk merogoh anggaran sebesar US$26 juta untuk penanganan bencana tersebut. Dari akun Instagramnya, politisi dari Partai Liberal ini berkomitmen untuk mengerahkan 140 pesawat untuk membantu penanganan kebakaran serta menggelontorkan dana sebesar US$20 juta untuk meminjam pesawat penanganan kebakaran.
Dia juga berjanji untuk memberikan bantuan sebesar US$300 per hari dan total pendapatan hingga US$6.000 untuk setiap pemadam kebakaran.
Meski demikian, Morrison tetap menolak adanya kaitan langsung antara perubahan iklim dengan kebakaran hutan. Hal ini pun mendapat kecaman dari sejumlah pihak, terutama aktivis lingkungan.
Pada Jumat (10/1), otoritas terkait sudah mengimbau hampir 250.000 warga untuk mengevakuasi diri dan mengumumkan tengah mempersiapkan tentara untuk mengantisipasi kembali naiknya suhu udara dan kecepatan angin, dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran api. Dengan kondisi cuaca ekstrem yang masih berlangsung, bukan tak mungkin jumlah kerugian yang terjadi bakal lebih besar lagi.