Bisnis.com, JAKARTA – Thailand dilaporkan telah membuka klinik penuh waktu pertama (full time) yang mengkhususkan pengobatan berbasis ganja tradisional dan alternatif pada Senin (6/1/2020). Hal ini sebagai bagian dari langkah pemerintah untuk mengembangkan industri ganja medis.
"Ini adalah klinik percontohan, karena kami tidak dapat menghasilkan cukup banyak dokter dengan keahlian dalam ganja," kata Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand Anutin Charnvirakul seperti dikutip dari Reuters, Senin (1/6/2020).
Dia menambahkan, para pasien akan menerima pengobatan gratis selama dua minggu pertama.
Thailand, yang memiliki tradisi menggunakan ganja untuk menghilangkan rasa sakit dan kelelahan, melegalkan ganja untuk penggunaan medis dan penelitian pada 2017 untuk meningkatkan pendapatan pertanian.
Sudah ada sekitar 25 klinik ganja yang menyatu pada rumah sakit umum di seluruh negara, tetapi tidak seperti klinik percontohan yang baru diluncurkan, mereka beroperasi hanya beberapa hari seminggu karena kurangnya staf spesialis.
Menkes Thailand Anutin mengatakan bahwa ada rencana 77 klinik akan dibuka di seluruh wilayah Thailand, dengan satu di setiap provinsi.
Produsen ganja obat terbesar saat ini adalah Organisasi Farmasi Pemerintah kementerian kesehatan. Direktur penelitian ganja medis Universitas Kasetsart, Natakorn Thasnas, mengatakan kepada Reuters bahwa universitas akan memasok 2.200 kilogram daun ganja ke kementerian.
Produksi, budidaya, dan penjualan ganja terbatas pada produsen Thailand berlisensi selama empat tahun ke depan untuk melindungi industri dalam negeri.
Saat ini, hanya rumah sakit dan fasilitas penelitian yang diizinkan untuk mengajukan izin produksi dan ekstraksi ganja, tetapi pemerintah sedang meninjau peraturan untuk memungkinkan pelaku usaha Thailand mengajukan izin.
Tahun lalu, Thailand menurunkan ekstrak ganja dan rami dari daftar narkotika. Mereka mengusulkan rancangan undang-undang yang akan memungkinkan setiap rumah tangga menanam enam tanaman ganja.
“Empat jenis obat, yang mengandung kombinasi cannabidiol (CBD) dan tetrahydrocannabinol (THC) yang berbeda, bahan psikoaktif dalam kanabis, diberikan kepada pasien untuk mengobati migrain, insomnia, sakit leher, dan kekakuan otot,” kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Klinik percontohan ini diperkirakan akan melayani antara 200 hingga 300 pasien setiap hari.
"Awalnya saya khawatir, tetapi saya mempelajari efeknya dan memutuskan bahwa itu lebih baik karena alami," kata Waraporn Boonsri, 69, yang menerima empat botol minyak ganja untuk membantunya tidur.
Seorang pejabat kesehatan mengungkapkan, hampir 2.200 pasien telah terdaftar di klinik sampai Maret.