Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indonesia Diminta Kurangi Impor Jika China Masih Ngotot di Natuna

Pemerintah diminta melakukan tindakan lebih tegas apabila China masih ngotot menyatakan memiliki hak di Natuna, Kepulauan Riau.
Gunung Ranai di Natuna, Kepulauan Riau./Bisnis-Duwi Setiya Ariyanti
Gunung Ranai di Natuna, Kepulauan Riau./Bisnis-Duwi Setiya Ariyanti

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta melakukan tindakan lebih tegas apabila China masih ngotot menyatakan memiliki hak di Natuna, Kepulauan Riau.

Negeri Tirai Bambu itu sebenarnya merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS).

UNCLOS mengatur tiga batas maritim di antaranya laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).

ZEE dikategorikan sebagai kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar. Di kawasan ZEE ini, Indonesia berhak untuk memanfaatkan segala potensi sumber daya alam yang ada, termasuk Natuna.

Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan apabila China masih mengabaikan nota protes atas Laut Natuna, Pemerintah Indonesia harus melakukan aksi diplomatik yang lebih keras.

Hal itu, menurut dia, bisa dilakukan seperti mengevaluasi perjanjian-perjanjian bilateral termasuk menolak latihan militer bersama dan pengetatan atau pengurangan volume impor.

"RI tidak perlu takut, karena investasi mereka pun masih jauh dari yang dijanjikan," ujarnya kepada Bisnis pada Kamis (2/1/2020).

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2019 mencatat China masih menjadi negara asal impor terbesar bagi Indonesia dengan peran sebesar 29,08% atau US$67,2 miliar (Januari-Juli 2019). 

Total nilai impor nonmigas dari tiga belas negara selama Juli 2019 sebesar US$11,06 miliar atau naik US$3,14 miliar (39,66%) dibandingkan dengan Juni 2019.

Kondisi tersebut disebabkan oleh naiknya nilai impor beberapa negara utama seperti China US$1,5 miliar (57,68%), Jepang US$251,4 juta (21,08%), dan Italia US$231,3 juta (247,64%).

Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, impor Januari–Juli 2019 dari 13 negara utama turun 7,72% (US$5,62 miliar). Penurunan ini terutama disumbang oleh Jepang US$1,36 miliar (12,99%), Thailand US$871,7 juta (13,76%), dan Singapura US$854,5 juta (14,81%).

Dari sisi peranan terhadap total impor nonmigas Januari–Juli 2019, sumbangan tertinggi diberikan oleh kelompok negara Asean sebesar 19,48% (US$16,57 miliar), diikuti oleh Uni Eropa 8,47% (US$7,2 miliar).

Sementara itu, 13 negara utama memberikan peranan 79,02% (US$67,2 miliar), sedangkan China masih menjadi negara asal impor terbesar dengan peran 29,08% (US$24,73 miliar).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper