Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kecewa atas putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham du kasus PLTU MT Riau-1.
Putusan itu otomatis membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman Idrus di pengadilan tipikor dari 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan menjadi lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.
"Kalau dilihat, dibandingkan putusan dua tahun dengan putusan di tingkat banding apalagi dengan tuntutan KPK tentu wajar bila kami sampaikan KPK cukup kecewa dengan turun secara signifikannya putusan di tingkat kasasi ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (3/12/2019).
Meski demikian, Febri mengaku bahwa pihaknya tetap menghormati majelis hakim yang telah memutus kasasi tersebut. Telebih, putusan ini telah berkekuatan hukum tetap.
Hanya saja, ke depan KPK berharap adanya kesamaan visi misi antar institusi penegak hukum dalam membuat efek jera pelaku korupsi. Apalagi, jika seseorang tersebut sudah terbukti bersalah di pengadilan sehingga diharapkan hukumannya setara dengan perbuatannya.
"Ini yang harapannya bisa menjadi kontemplasi ke depan agar kerja yang dilakukan penyidik, penuntut umum, hakim di tingkat pertama, di tingkat kedua sampai di tingkat kasasi itu berada dalam visi yang sama soal pemberantasan korupsi," tuturnya.
Di sisi lain, Febri mengaku dari putusan tersebut dibacakan pada Senin 2 Desember 2019, sampai saat ini pihaknya belum menerima salinan putusan secara resmi dari MA.
MA sebelumnya mengabulkan kasasi yang diajukan mantan Menteri Sosial itu dengan memotong masa hukumannya menjadi 2 tahun penjara dari 5 tahun penjara di tingkat banding.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan majelis hakim agung kasasi dalam putusannya menjatuhkan pidana kepada terdakwa Idrus Marham selama 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan.
"Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi terdakwa dan membatalkan putusan pengadilan Tipikor pada pengadilan tinggi DKI Jakarta," ujar Andi Samsan Nganro dikonfirmasi Selasa (3/12/2019).
Andi berujar bahwa putusan majelis hakim kasasi menyatakan Idrus lebih tepat diterapkan dakwaan Pasal 11 undang-undang tindak pidana korupsi (tipikor). Hakim kasasi menilai Idrus menggunakan pengaruh kekuasaannya sebagai Plt. Ketua Umum Golkar di kasus tersebut.
Hal itu karena pada awalnya Eni Maulani Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR melaporkan perkembangan proyek PLTU MT Riau-1 pada mantan Ketum Golkar Setya Novanto.
Hanya saja, Eni tidak lagi melaporkannya pada Setya Novanto lantaran Setya secara bersamaan terjerat kasus KTP elektronik. Eni lantas melaporkan perkembangan proyek itu pada Idrus Marham yang menjabat sebagai Plt. Ketua Umum Golkar.
"Dengan tujuan agar Eni Maulani Saragih tetap mendapat perhatian dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo. Kemudian, Eni Saragih menyampaikan kepada terdakwa kalau dirinya akan mendapatkan fee dalam mengawal proyek PLTU MT Riau-1," tutur Andi.
Andi mengatakan putusan kasasi dijatuhkan oleh majelis hakim kasasi pada Senin, 2 Desember 2019. Duduk sebagai Ketua Majelis Suhadi, serta hakim anggota Abdul Latif dan Krishna Harahap.
Atas putusan itu, tim penasihat hukum terdakwa Idrus Marham mengaku senang atas putusan MA yang memotong masa hukuman Idrus menjadi dua tahun penjara terkait kasus PLTU MT Riau-1.
Samsul beralasan bahwa Idrus Marham tidak tahu menahu soal proyek PLTU Riau 1. Dia mengklaim bahwa nama Idrus ikut terseret karena dicatut oleh mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih.
Tak hanya itu, Idrus Marham juga disebutnya sama sekali tidak tahu akan terjadinya suap menyuap antara pengusaha Johannes B. Kotjo dan Eni Saragih di dalam proyek tersebut.
"Fakta persidangan jelas bahwa proyek ini sudah diatur oleh orang lain," ujar Samsul.