Ada Banjir Sampah Selundupan
Lalu, mengapa banjir sampah selundupan itu bisa terjadi? Menurutnya, hal itu lantaran terdapat beberapa sebab yang menyertainya.
Pertama, kata dia, adalah mulai pedulinya Pemerintah China akan bahaya impor sampah di negerinya. Pasalnya, China yang selama ini dikenal sebagai negara importir sampah, yakni sekitar 56% sampah global lari ke China, sudah menghentikan kegiatan itu. Pada 2017, sampah plastik global diekspor paling banyak ke China, sedangkan pada Maret 2018 China mulai menerapkan kebijakan National Sword sehingga menggerus impor sampah mereka.
Dampaknya, banyak negara pengekspor sampah mengalihkan tujuan ekspornya ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kedua, adanya praktik curang oleh oknum yang memanfaatkan kebijakan pemerintah terkait dengan aturan impor waste paper. Pada 2016, Permendag No. 31/2016 memasukkan waste paper ke dalam bahan baku industri. Konsekuensinya, waste paper dimasukkan dalam kategori green line alias tidak memerlukan pemeriksaan fisik di Bea Cukai.
“Jadi, mereka praktiknya melalui sampah plastik tersebut di antara waste paper itu. Kami mengendusnya ini sudah berlangsung sejak akhir 2017,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Pihaknya melihat ada kecurangan di antara surveyor negara asal barang dengan surveyor di dalam negeri. “Karena itu, kami meminta waste paper ini segera dimasukkan ke dalam red line, sehingga ada pemeriksaan fisik oleh Bea Cukai,” tegasnya.
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menerangkan bahwa menurut Permendag No. 31/M-DAG/PER/5/2016, yang diperbolehkan melakukan impor adalah limbah, bukan sampah.
Menurutnya, Menteri Perdagangan (Mendag) memperbolehkan untuk mengimpor limbah plastik dalam bentuk sisa, skrap dan reja.
Adapun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat memberikan rekomendasi untuk impor limbah. “Untuk pengajuan impor baru dari industri, Menteri LHK harus hati-hati dalam memberikan rekomendasi,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan kasus yang sedang marak saat ini, pihaknya menilai aspek kebijakan dan pengawasan harus dievaluasi. Dengan banyaknya kasus penumpukan sampah impor, ini menunjukkan adanya loop hole yang tak mampu ditangani pemerintah.
“Pertama, kebijakan impornya harusnya di-review kembali, karena bisa jadi ada celah kebijakan impor yang dimanfaatkan sebagai peluang tindak kejahatan itu, seperti memasukkan waste paper ke dalam kategori red line,” ujarnya.
Kedua, bagi eksportir negara asal maupun importir dalam negeri yang terbukti melanggar harus ditindak dengan tegas agar memberikan efek jera.
Seiring dengan hal itu, pemerintah juga harus menggalakkan budaya memilah sampah dari rumah tangga agar sampah-sampah tersebut dapat dikelola dengan baik. Pasalnya, dia melihat industri di Indonesia lebih memilih impor dari luar negeri karena pemilahan sampah belum banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia.
Oleh sebab itu, beberapa industri melihat apabila menggunakan sampah Indonesia tidak efisien karena harus melakukan pemilahan terlebih dahulu.
Hal ini tidak seperti terjadi di luar negeri yang pengelolaan sampahnya sudah terpilah-pilah. “Awarenes pemilahan sampah ini seharusnya juga harus terus dibangun agar tidak banyak impor dari luar,” ujarnya.