Bisnis.com, JAKARTA – Eksportir minyak sawit terbesar kedua di dunia, Malaysia, bakal memberlakukan peraturan guna memastikan bahwa pada 2021 minyak sawit mereka memenuhi standar keamanan pangan baru yang sedang dipertimbangkan oleh Uni Eropa.
Dilansir dari Reuters, Selasa (19/11), Uni Eropa tengah mempertimbangkan untuk menetapkan batas baru, dengan tanggal yang belum ditentukan pada kontaminan makanan dalam lemak dan minyak olahan. UE juga sedang membahas penerapan tingkat keamanan untuk ester 3-MCPD yang ditemukan dalam minyak sawit. Otoritas Keamanan Pangan Eropa mengatakan, ester meningkatkan potensi masalah kesehatan.
“Industri minyak sawit di Malaysia telah diinstruksikan [oleh pemerintah] untuk mematuhi tingkat 3-MCPDE yang ditentukan oleh UE sebesar 2,5 ppm untuk produk makanan pada 2021,” kata Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok dalam acara industri di Kuala Lumpur, Selasa (19/11).
Hal itu mengacu pada kontaminan dalam miligram per kilo minyak.
Dia menambahkan, pihaknya kini dalam proses menegakkan beberapa peraturan untuk memastikan bahwa minyak sawit yang dihasilkan memenuhi tingkat keamanan yang dapat diterima untuk 3-MCPDE.
Malaysia bulan lalu mengatakan, aturan baru UE itu dapat mengurangi permintaan minyak kelapa sawit dalam makanan, yang menyumbang hampir 70% dari konsumsi minyak dunia. Minyak sawit tersebut digunakan dalam produk-produk seperti roti dan cokelat.
Baca Juga
Industri kelapa sawit senilai US$60 miliar sering dijadikan kambing hitam atas masalah pengurangan hutan hujan tropis. Uni Eropa tahun ini memperkenalkan undang-undang untuk menghapus minyak kelapa sawit dari bahan bakar terbarukan pada 2030 karena masalah deforestasi. Malaysia dan Indonesia mengatakan mereka berencana untuk menantang hukum di Organisasi Perdagangan Dunia.
Pasar biodiesel UE diperkirakan bernilai 9 miliar euro US$ 10 miliar per tahun.
Pada kesempatan sama, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan, negaranya sedang mengupayakan solusi terbaik terkait sawit. Namun, bila produk agrikultur tersebut masih dipersoalkan oleh negara-negara importir, Malaysia akan melawannya.
“Jika negara-negara pengimpor tertentu memilih untuk memberlakukan hambatan perdagangan yang diskriminatif terhadap negara-negara penghasil kelapa sawit, kami tidak boleh diam atau ragu untuk mengambil langkah-langkah balasan," katanya.
Sementara itu, Kok mengatakan, 60% dari total area perkebunan kelapa sawit di negara itu telah menerima sertifikasi Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO), yang mengharuskan petani untuk memenuhi standar tertentu mengenai perlindungan lingkungan dan hak-hak pekerja.
Negara Asia Tenggara itu menargetkan 70% area kelapa sawit telah menerima sertifikasi MSPO sebelum Februari tahun depan.
Dia mengulangi peringatan Dewan Minyak Sawit Malaysia tentang tindakan hukum atau pembatalan izin jika pabrik kelapa sawit dan petani dengan perkebunan seluas 100 hektar dan lebih banyak lagi tidak disertifikasi oleh 1 Januari.
Sebelumnya, Kok mengatakan, sertifikasi di antara petani kecil, yang menyumbang hampir 40% dari total produksi minyak sawit Malaysia, sangat rendah karena kekhawatiran mereka tidak akan dapat memulihkan biaya tinggi untuk mematuhi peraturan.