Bisnis.com, JAKARTA - Direktur YLBHI Asfinawati, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, menilai wacana kebijakan sertifikat layak kawin yang dilontarkan pemerintah lebih banyak sisi buruknya ketimbang baiknya.
Sisi baiknya, ujar Asfi, pasangan calon yang hendak menikah bisa memahami hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Sisi buruknya, kalau tidak hati-hati, bisa membuka peluang penyalahgunaan wewenang dan kontrol terhadap ruang privat. Misalnya, pemerasan dan suap.
"Misalnya, dalam praktiknya seharusnya lulus, malah dibilang enggak. Kejadian ini kan umum di Indonesia. Bisa menimbulkan peluang pemerasan dan suap," ujar Asfinawati saat dihubungi Tempo pada Minggu (17/11/2019).
Selain itu, ujar Asfi, kursus mendapatkan sertifikasi perkawinan ini juga berpeluang dipengaruhi nilai-nilai keyakinan mayoritas. Seharusnya, ujar dia, materi kursus netral dan tidak dipengaruhi keyakinan tertentu.
"Mempertimbangkan konteks-konteks ini, lebih banyak buruknya wacana sertifikat layak kawin ini," ujar Asfi.
Untuk itu, Asfi menyarankan materi kursus perkawinan dimasukkan saja ke kurikulum pendidikan sekolah secara bertahap sesuai perkembangan kedewasaan. "Misalnya, menghargai satu sama lain, khususnya perempuan, itu seharusnya diajarkan sejak dini untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan," ujar Asfinawati.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi sebelumnya menyatakan akan mewajibkan sertifikasi layak kawin bagi pasangan yang akan membina rumah tangga.
Menurut dia, calon mempelai wajib mengikuti pelatihan menyangkut ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi. Dia berencana memberlakukan program ini mulai tahun depan.
"Ya sebelum lulus mengikuti pembekalan enggak boleh nikah," kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 14 November 2019.