Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah China akan memastikan bahwa hanya orang-orang yang loyal kepada pemerintah pusat yang akan menjadi kepala eksekutif di Hong Kong.
Dalam sebuah unggahan, Zhang Xiaoming, pejabat tinggi China yang mengawasi urusan Hong Kong mengatakan bahwa mayoritas perwakilan di kabinet, lembaga peradilan dan legislatif Hong Kong juga harus mendukung pemerintah pusat.
“Ketidakmampuan kota untuk menerapkan Pasal 23, undang-undang yang melarang tindakan pengkhianatan dan subversi terhadap pemerintah China, juga kegagalan membentuk unit untuk menindaklanjuti adalah alasan utama meningkatnya pergerakan separatis," ujar Zhang, dikutip dari Bloomberg.
Pada tahun 2003, pemerintah Hong Kong diketahui menghentikan implementasi pasal yang kontroversial itu setelah aksi protes menarik ratusan ribu orang.
Pernyataan Zhang tersebut serta merta menyurutkan harapan para aktivis pro-demokrasi terkait penyelenggaraan pemerintah yang demokratis di tengah eskalasi ketegangan di wilayah itu.
“Komentar dari pejabat tinggi China yang mengawasi urusan Hong Kong adalah bagian dari rencana Beijing untuk memperketat kendali atas Hong Kong dan memberi tekanan lebih lanjut pada kubu pro-demokrasi,” ujar Joseph Cheng, seorang profesor di City University of Hong Kong.
Baca Juga
“Situasi saat ini di Hong Kong telah berubah menjadi krisis dan itu memberi para pemimpin China alasan untuk menekan garis keras,” tambahnya.
Hong Kong dijadwalkan akan mengadakan pemilihan untuk kursi anggota badan pembuat undang-undang, Dewan Legislatif, yang diperkirakan akan diperebutkan dengan sengit, mengingat kerusuhan yang sedang berlangsung.
Sementara itu, aksi unjuk rasa besar-besaran terus memukul kota tersebut. Aksi protes bereskalasi di seluruh wilayah kota ini selama akhir pekan kemarin menyusul kematian seorang mahasiswa pada Jumat (8/11/2019).
Chow Tsz-lok (22 tahun) seorang mahasiswa di Universitas Sains dan Teknologi (UST) Hong Kong, meninggal karena luka-luka yang dideritanya usai terjatuh dari lantai tiga ke lantai dua tempat parkir pada Senin (4/11/2019) di tengah tindak operasi oleh polisi.
Kematian Chow menyulut kemarahan lebih lanjut terhadap pihak kepolisian yang sudah menghadapi tekanan karena tudingan penyalahgunaan kekuatan. Di sisi lain, kepolisian Hong Kong membantah laporan bahwa petugas mereka mengejar dan mendorong siswa tersebut.
Para aktivis kemudian merusak toko-toko dan stasiun kereta api. Mereka juga melemparkan bom molotov ke kantor polisi dan memblokir jalanan.
“Mengingat ini adalah kematian pertama yang terjadi di lokasi konfrontasi antara polisi dan demonstran, pasti akan menambah api amarah yang sudah kuat terutama ketika orang-orang umumnya sama sekali tidak percaya pada sistem dan polisi,” tutur Alvin Yeung, seorang anggota parlemen pro-demokrasi.
Aksi ini diawali dengan pertentangan terhadap usulan undang-undang yang memungkinkan ekstradisi ke China daratan. Meski RUU ini telah ditarik, aksi protes kemudian berkembang menjadi ekspresi anti-pemerintah China dan tuntutan melaksanakan pemilu secara demokratis untuk anggota parlemen dan kepala eksekutif.