Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sektor Kelistrikan Rawan Korupsi, TII Beri Rekomendasi

Rekomendasi itu diberikan menyusul rawannya praktik korupsi di sektor kelistrikan.
Teknisi Unit Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan (PDKB) PLN/Bisnis-Rachman
Teknisi Unit Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan (PDKB) PLN/Bisnis-Rachman

Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga swadaya masyarakat Transparency International Indonesia (TII) menilai sektor kelistrikan rawan terjadi tindak pidana korupsi. 

Terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengusut kasus kerja sama proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 yang menjerat empat orang.

Mereka adalah mantan anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih; pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. Johanes Budisutrisno Kotjo; mantan Sekjen Golkar Idrus Marham; dan mantan Dirut PT PLN Sofyan Basir.

Tak hanya itu, KPK juga sudah menangani kasus mantan anggota Komisi VII DPR Dewie Yasin Limpo terkait suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kabupaten Deiyai, Papua di tahun 2016.

"Kerentanan korupsi dalam proyek pembangkit listrik nasional yang terefleksikan dari kasus di atas seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat upaya pencegahan korupsi di sektor kelistrikan”, ujar Sekjen TII Dadang Trisasongko dalam keterangan tertulis, Rabu (30/10/2019).

Dadang mengatakan pihaknya telah melakukan kajian "Transparency in Corporate Reporting: Penilaian terhadap Pengembang Pembangkit Listrik (PPL)" untuk menilai kesiapan perusahaan di sektor kelistrikan Indonesia dalam mencegah korupsi.

Dalam kajian itu, sebanyak 95 perusahaan termasuk perusahaan yang menjadi sponsor dalam konsorsium, perusahaan patungan, dan kontraktor proyek pembangkit listrik, yang mengerjakan sekitar 20.189 MW (58%) dari mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW.

Menurut Dadang, hasil kajian menyatakan bahwa Skor Transparency in Corporate Reporting (TRAC) dari Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) adalah 1.9/10. 

Artinya, skor tersebut menandakan perusahaan berisiko tersangkut korupsi karena tidak memiliki program anti korupsi yang memadai. 

"Transparansi struktur grup perusahaan dan pelaporan informasi keuangan antarnegara juga sangat tidak transparan”, ujar Dadang.

Kemudian, ujar dia, transparansi program antikorupsi PPL tercatat hanya memiliki rerata skor sebesar 22% atau hanya sebagian kecil perusahaan yang memiliki program antikorupsi yang memadai. 

Program Officer TII Ferdian Yazid menambahkan bahwa hanya 20 dari 95 perusahaan yang memiliki komitmen antikorupsi; 17 dari 95 perusahaan yang melarang pemberian donasi politik; 16 dari 95 perusahaan yang mewajibkan perantara (intermediaries) untuk mematuhi kebijakan antikorupsi perusahaan; dan 11 dari 95 perusahaan yang mewajibkan rekanan/vendor untuk mematuhi kebijakan antikorupsi perusahaan.

Selain iti, risiko tersandung tindak pidana korupsi dalam relasi antar pebisnis juga cukup besar karena 51 dari 95 perusahaan yang diteliti sama sekali tidak memiliki kebijakan anti korupsi perusahaan seperti larangan suap, gratifikasi, uang pelicin, dan donasi politik. 

"Tiadanya kebijakan antikorupsi perusahaan menyebabkan tidak ada batasan antara tindakan yang dilarang bagi karyawan atau direksi perusahaan dan yang diperbolehkan, termasuk korupsi" ujar Ferdian Yazid.

Kajian TII juga menganalisis rerata program antikorupsi berdasarkan asal negara perusahaan menunjukkan hal yang menarik. 

Sebanyak 62 perusahaan asal Indonesia dalam proyek 35.000 MW memiliki rerata skor program antikorupsi sebesar 14%; 8 perusahaan asal China memiliki rerata skor sebesar 8%; 7 perusahaan asal Korea Selatan memiliki skor rerata sebesar 38%; dan 6 perusahaan asal Jepang memiliki skor rerata sebesar 67%.

Kemudian, 3 perusahaan asal Amerika Serikat memiliki skor rerata sebesar 50%; 2 perusahaan asal Singapura memiliki skor rerata sebesar 33%; serta perusahaan dari negara lain seperti Finlandia, Swiss, Thailand, Hongkong, Qatar, Spanyol, dan Italia memiliki rerata skor sebesar 41%. 

Berdasarkan kajian TII, rerata tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan PLN seharusnya turut memastikan bahwa perusahaan multinasional yang akan bekerjasama memiliki rekam jejak yang bebas dari korupsi dan memiliki program antikorupsi yang memadai.

Kajian juga menyentuh transparansi struktur grup PPL yang memiliki rerata skor 36%. 

Hasil kajian menyatakan bahwa hanya 43 dari 95 PPL yang menginformasikan daftar anak perusahaannya, dan hanya 31 dari 95 PPL yang menginformasikan persentase kepemilikan sahamnya di anak perusahaan. 

Kemudian, hanya 34 dari 95 PPL yang menginformasikan daftar perusahaan patungan atau perusahaan asosiasi, dan 28 dari 95 PPL yang menginformasikan persentase kepemilikan saham di perusahaan patungan atau perusahaan asosiasi.

Selain itu, hasil kajian persentase dari laporan keuangan per negara (country-by-country report) PPL juga sangat rendah karena skor rerata persentasenya mencapai 0%. 

Laporan TII menyatakan dari 40 perusahaan multinasional yang dinilai, tidak ada perusahaan menyusun laporan keuangan dan disajikan secara terpisah di setiap lokasi bisnis perusahaan. 

Padahal, country-by-country report dinilai sangat krusial untuk mencegah praktik penghindaran pajak. 

REKOMENDASI

TII kemudian merekomendasikan sejumlah hal berdasarkan temuan dari penilaian terhadap Pengembang Pembangkit Listrik (PPL).

Pertama, Dadang menyebut pemerintah dan PLN dinilai harus mengembangkan dan menerapkan program antikorupsi yang memadai dengan mengacu pada standar program antikorupsi perusahaan.

Misalnya, panduan pencegahan korupsi untuk dunia usaha dari KPK, ISO 37001 mengenai Sistem Manajemen Anti Suap atau Business Principles for Countering Bribery dari Transparency International.

Kedua, memperkuat kebijakan antikorupsi, khususnya yang terkait dengan pencegahan konflik kepentingan antara politisi, PLL, birokrasi, ataupun direksi PLN pada tahap perencanaan dan pengadaan di sektor kelistrikan.

Ketiga, pemerintah mengembangkan dan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas pemilihan jajaran direksi BUMN.

Keempat, pemerintah memperkuat pengawasan dalam investasi di sektor kelistrikan.

Kelima, publikasi country-by-country report perusahaan multinasional.

Keenam, PLN mengembangkan sistem due diligence anti korupsi terhadap calon rekanan PLN.

Ketujuh, memberikan pelatihan antikorupsi kepada seluruh karyawan dan direktur PLN.

Kedelapan, memperkuat program antikorupsi di anak perusahaan PLN.

Terakhir, menerapkan mekanisme perusahaan dan orang-orang yang memiliki rekam jejak pernah melakukan tindak pidana korupsi ke dalam daftar hitam investasi dan rekanan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ilham Budhiman
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper