Bisnis.com, JAKARTA - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa Markus Nari dengan hukuman sembilan tahun penjara.
Jaksa meyakini mantan anggota DPR Fraksi Golkar itu bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait korupsi KTP-elektronik.
"Kami selaku penuntut umum berkesimpulan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata jaksa Andhi Kurniawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (28/10/2019).
Selain itu, jaksa juga meyakini bahwa Markus Nari bersalah melakukan perintingan penyidikan di perkara tersebut baik secara tidak langsung pada saat pemeriksaan saksi di sidang perkara korupsi KTP-el.
Selain kurungan badan, jaksa juga menuntut hakim agar menjatuhkan denda sejumlah Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan pada Markus Nari.
Jaksa mengatakan bahwa Markus Nari dalam perkara KTP-el telah memperkaya diri sendiri senilai US$900 ribu dari proyek pengadaan dan proses penganggaran KTP-el tahun anggaran 2011—2013.
Uang itu diterima dari mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebesar US$400 ribu, sedangkan US$500 ribu dari pengusaha Andi Narogong melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Baca Juga
Markus Nari juga dinilai telah memperkaya orang lain atau sejumlah korporasi dengan menyalahgunakan wewenangnya selaku Anggota Komisi II DPR dan Anggota Badan Anggaran.
Jaksa mengatakan Markus Nari juga merintangi penyidikan kasus megakorupsi tersebut melalui orang suruhannya bernama Anton Tofik.
Dia juga dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi KTP-el.
Hal tersebut dilakukan Markus Nari terhadap saksi mantan anggota DPR yang juga menjadi tersangka perkara KTP-el Miryam S. Haryani dan terdakwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kemendagri, Sugiharto.
Adapun menurut jaksa, hal yang memberatkan Markus adalah tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, menimbulkan kerugian keuangan yang sangat besar dan tidak mengakui perbuatannya.
"Akibat perbuatan terdakwa bersifat masif yakni menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional dan dampak dari perbuatan terdakwa masih dirasakan sampai dengan sampai dengan saat ini," kata jaksa.
Sementara itu, hal yang meringankan menurut jaksa adalah terdakwa bersifat sopan selama di persidangan.
Markus Nari melanggar Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, sedangkan terkait merintangi penyidikan dia melanggar Pasal 21 UU Tipikor.