Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi UU KPK Dinilai Tidak Sah, Ini Alasannya

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan tidak sahnya RUU KPK tersebut lantaran koreksi kesalahan pengetikan atau tipo pada naskah UU revisi itu tidak melalui rapat paripurna DPR.
Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah (kiri) berbincang dengan Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kanan) saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR. /Antara
Wakil Ketua DPR selaku Pimpinan Sidang Fahri Hamzah (kiri) berbincang dengan Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kanan) saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR. /Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) memandang bahwa revisi UU KPK No.30 tentang KPK yang mulai diberlakukan hari ini dinilai tidak sah.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan tidak sahnya RUU KPK tersebut lantaran koreksi kesalahan pengetikan atau tipo pada naskah UU revisi itu tidak melalui rapat paripurna DPR.

Salah pengetikan atau tipo di UU KPK ada pada Pasal 29 huruf e yang menjelaskan soal syarat pimpinan KPK. 

Kesalahan tedapat pada pengetikan dalam tanda kurung yang ditulis 'empat puluh tahun'. Padahal, pada pasal huruf e itu ditulis berusia paling rendah 50 tahun.

Masalah muncul lantaran satu dari lima calon pimpinan KPK terpilih, Nurul Ghufron, madih berusia 45 tahun. Bila mengikuti ketentuan UU KPK baru, maka dia terancam tak bisa dilantik.

"Permasalahan ini menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang sebenarnya berlaku," kata Boyamin, dalam keterangan resminya, Kamis (17/10/2019).

Boyamin menjelaskan bahwa kesalahan pengetikan itu bukan sekedar kesalahan tipo biasa, namun kesalahan substantif. Dikarenakan kesalahan substantif tersebut, lanjutnya, maka cara perbaikan harus memenuhi persyaratan.

"Yaitu dengan mengulang rapat paripurna DPR, produk rapat paripurna hanya dirubah dengan rapat paripurna. Koreksi yang bukan dengan rapat paripurna menjadikan revisi UU KPK menjadi tidak sah dan batal demi hukum," katanya.

Boyamin mengatakan bahwa dalam azas bernegara termasuk azas hukum berlakunya Undang-Undang apabila terjadi perubahan maka harus dengan cara yang sama atau sederajad dalam hal ini dengan rapat paripurna. 

Hal ini menurutnya pernah berlaku pada kesalahan penulisan putusan Kasasi Mahkamah Agung terkait perkara Yayasan Supersemar yang "tertulis 139 juta" yang seharusnya "139 milar". 

"Atas kesalahan ini tidak bisa sekedar dikoreksi dan membutuhkan upaya Peninjauan Kembali (PK) untuk membetulkan kesalahan penulisannya," ujarnya.

Di sisi lain, ujar Boyamin, hingga saat ini belum terbentuk Alat Kelengkapan DPR, termasuk Badan Legislasi (Baleg) sehingga koreksi yang dianggap tipo oleh DPR juga tidak sah karena revisi UU KPK dibahas di Baleg DPR.

"Untuk memenuhi syarat sahnya revisi UU KPK setelah ada kesalahan penulisan tersebut hanya bisa dilakukan apabila telah terbentuk Alat Kelengkapan DPR termasuk Baleg dan harus melalui rapat paripurna DPR. Sepanjang hal ini tidak dilakukan, revisi UU KPK adalah tidak sah," katanya.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ilham Budhiman
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper