Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan deregulasi dan kemudahan investasi yang gencar dilakukan harus diiringi dengan pengawasan yang kuat agar ekonomi Indonesia tidak ambruk seperti krisis 1998.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada 1998 harus menjadi pelajaran yang harus diingat sampai kapanpun.
Krisis ekonomi kala itu disebabkan dua hal besar yakni paket kebijakan ekonomi pada 1988 atau lebih dikenal dengan Pakto 88 serta kebijakan penjaminan penuh dana nasabah di bank (blanket guarantee) saat krisis menerpa pada 1998.
"Pada 1980-an, kita [pemerintah untuk meningkatkan investasi] membuat pokoknya deregulasi, pajak diturunkan, investasi dimudahkan. Lahir Pakto 88 yang memudahkan membuat bank. Namun, efeknya terjadilah krisis 1998," kata Jusuf Kalla di hadapan 100 ekonom di Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Jusuf Kalla menyebutkan pada kebijakan Pakto 88, kebutuhan modal dasar membuat bank ditetapkan cukup Rp10 miliar. Akibatnya, para pengusaha beramai-ramai membuat bank.
"Dengan hanya Rp10 miliar orang punya bank. Pedagang kelontong di kota pasti punya Rp10 miliar. Maka terjadilah 245 bank. Itu saling bersaing, saling keluarkan kredit, sehingga keadaan tidak terkontrol," papar Wapres.
Kredit yang mengucur dengan besar kala itu, kata JK, menemukan kesulitan pembayaran ketika ekonomi Asia runtuh yang dimulai dari Thailand. Untuk menenangkan nasabah, pemerintah melakukan kesalahan kedua yakni menerapkan penjaminan penuh untuk simpanan.
"Yang keliru waktu itu ialah penerbitan blanket guarantee. Saya protes ke Mar’ie [Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad], pasti negeri ini rusak kalau blanket guarantee, ternyata betul," kata JK.
Belajar dari dua kekeliruan itu, kata JK, undang-undang baru mengenai Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang disahkan DPR RI dipastikan menerapkan bail-in. Para pengusahalah yang harus pertama mempertanggungjawabkan kegagalan mengelola lembaga keuangan.