Bisnis.com,JAKARTA - Gagasan penerapan status darurat sipil pasca peristiwa penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto, dinilai perlu dikaji kembali.
Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Arya Sandhiyudha, menyatakan sesungguhnya gagasan penerapan status keadaan darurat sipil perlu kajian secara menyeluruh dan mendalam.
“Pertama, ada konsekuensi apabila darurat sipil diaktifkan punya konsekuensi membuat lahirnya rezim hukum baru dimana pengabaian dan pelanggaran konsep hukum positif yang ada dengan legitimasi status darurat sipil," katanya, (16/10/2019).
Dia menilai bahwa kondisi Indonesia sekarang bilamana dibandingkan dengan situasi negara yang pernah menerapkan darurat sipil seperti Turki atau Mesir sangatlah berbeda. Di Indonesia, katanya, tidak ada kebutuhan mendesak untuk menerapkan hal itu lantaran hukum negara masih dapat digunakan secara efektif untuk menyelesaikan kondisi ini.
“Dalam kondisi seperti penusukan kemarin, sebenarnya UU Terorisme sudah dapat melokalisir permasalahan. Biasanya status darurat sipil digunakan pada saat kondisi konflik sosial seperti pemberontakan, kerusuhan atau bencana alam yang tidak dapat diatasi oleh alat kelengkapan secara biasa,” paparnya.
“Penusukan kemarin rasanya tidak cocok masuk dalam kondisi darurat sebagaimana disebutkan dalam UU 23 prp Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya itu," tambahnya.
Baca Juga
Kedua, lanjutnya, kondisi penusukan itu sepertinya tidak juga masuk dalam kategori mengancam kedaulatan negara yang memenuhi klausul jika tidak dinyatakan darurat maka kondisi negara akan roboh.
"Saya sendiri lebih melihat bahwa kondisi penusukan, meski memilukan belum sampai derajat ancaman objektif yang mengakibatkan kondisi yang memicu hadirnya rentetan ancaman yang mengancam kedaulatan dan pemerintahan pada umumnya. Mungkin, kalau pembantaian di Wamena oleh separatis yang jadi latar darurat sipil terbatas mungkin lebih diterima. Justru wacana darurat sipil yang dapat merobohkan negara karena akan disusul krisis ekonomi dan investasi lari," urainya.
Ketiga, menurut Arya, penetapan darurat sipil memungkinkan lahirnya benturan dan pelanggaran terhadap banyak prinsip demokrasi dan HAM yang akan merugikan Indonesia dari aspek indeks demokrasi dan aspek ekonomi.
Potensi negara dijelaskan dirinya dapat dicitrakan masif oleh rakyat di dalam negeri dan komunitas internasional sebagai rezim represif yang berbahaya akan sangat merugikan dalam banyak aspek.
“Beberapa hal yang akan menimbulkan keresahan publik secara luas, status darurat sipil akan membuka ragam pembenaran untuk melakukan penyadapan secara massif, melakukan pelarangan konten radio dan televisi melakukan penggeledahan badan dan rumah, membatasi orang keluar rumah dan menyita barang barang dengan dalih bertentangan dengan ketertiban umum dan masih banyak lagi,” pungkasnya.