Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa anggota keluarga kerajaan dan elit bisnis Arab Saudi disebut-sebut merasa frustrasi dengan kepemimpinan Putra Mahkota Mohammed bin Salman pascaserangan terhadap infrastruktur minyak kerajaan bulan lalu.
Menurut sejumlah sumber Reuters yang identitasnya dirahasiakan, serangan itu telah menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa anggota keluarga kerajaan tentang kemampuan sang pangeran untuk mempertahankan dan memimpin Saudi sebagai eksportir minyak terbesar di dunia.
Serangan itu juga telah memantik ketidakpuasan di antara kalangan elit yang meyakini bahwa putra mahkota alias MBS telah berupaya mencengkeram kekuasaan dengan terlalu ketat.
Beberapa dari mereka mengatakan bahwa peristiwa tersebut memicu kecaman di antara pihak yang meyakini bahwa MBS telah melancarkan sikap terlalu agresif terhadap Iran yang diduga menjadi dalang serangan.
“Ada banyak kemarahan tentang kepemimpinan putra mahkota,” ungkap salah satu sumber, seorang anggota kalangan elit di Saudi yang memiliki koneksi dengan kerajaan. “Bagaimana mereka tidak dapat mendeteksi serangan itu?”
Baca Juga
Sumber itu menambahkan bahwa beberapa orang di kalangan elit mengatakan mereka "tidak percaya" pada putra mahkota. Pernyataan senada juga dituturkan oleh empat sumber lainnya dan seorang diplomat senior.
Namun pada saat yang sama, putra mahkota juga memiliki pendukung yang setia. Seorang sumber mengatakan peristiwa-peristiwa yang terjadi baru-baru ini tidak akan berdampak pada sang pangeran secara pribadi sebagai penguasa potensial karena ia berusaha menghentikan ekspansi Iran di kawasan itu.
“Ini adalah isu patriotik, jadi dia tidak akan berada dalam bahaya, setidaknya selama ayahnya (Raja Salman) masih hidup,” ungkap sumber itu, seperti dilansir dari Reuters (Kamis, 3/10/2019)
Seorang diplomat asing senior kedua mengatakan kebanyakan warga Saudi masih ingin bersatu di belakang sang putra mahkota sebagai pemimpin yang kuat, tegas, dan dinamis.
Hingga berita ini dituliskan, masih belum ada respons dari kantor media pemerintah Arab Saudi atas pertanyaan-pertanyaan Reuters.
Sementara itu, dalam suatu wawancara yang disiarkan pada Minggu (29/9/2019) oleh CBS, putra mahkota menyerukan aksi global yang "kuat dan tegas" untuk mencegah Iran. Namun ia juga mengatakan lebih memilih "solusi damai" ketimbang cara militer.
Kepercayaan Menurun
Secara hierarki, MBS berada di urutan pemegang tahta berikutnya setelah Raja Salman yang kini berusia 83 tahun, Raja Salman. Secara de facto, sang pangeran adalah penguasa negara. Dia telah bersumpah untuk mengubah kerajaan menjadi negara modern.
Pangeran berusia 34 tahun, yang populer di kalangan muda Arab Saudi, ini banyak disanjung karena melonggarkan batasan-batasan sosial di kerajaan Muslim yang terkenal konservatif ini.
Namun kontrol negara terhadap media dan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat di kerajaan membuatnya sulit untuk mengukur tingkat antusiasme yang sesungguhnya di dalam negeri.
Serangan udara pada 14 September yang menghanguskan dua pabrik milik raksasa minyak negara, Saudi Aramco, telah meruntuhkan separuh dari produksi minyak kerajaan atau 5 persen dari produksi minyak global.
“Bisa dibilang negara ini telah mengalami serangan terbesar yang pernah ada,” ujar Neil Quilliam, seorang peneliti senior di Chatham House, sebuah think tank internasional yang berbasis di London.
"Ada kepercayaan yang semakin menurun pada kemampuannya (putra mahkota) untuk mengamankan negara, dan itu adalah konsekuensi dari kebijakannya-kebijakannya,” tambah Quilliam, seorang spesialis di Arab Saudi dan Teluk. Pangeran Mohhamed diketahui mengurusi kebijakan luar negeri, keamanan, dan pertahanan.
Serangan itu telah memicu kemarahan yang telah membara sejak putra mahkota berkuasa dua tahun lalu. Ia menyapu rival-rivalnya menuju kursi tahta dan menangkap ratusan tokoh penting kerajaan karena tuduhan korupsi.
Di luar negeri, reputasi MBS tak lebih harum karena perang di Yaman terhadap kelompok Houthiyang telah menewaskan puluhan ribu orang dan memicu krisis kemanusiaan.
Dia juga mendapat kecaman internasional atas kasus pembunuhan terhadap jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Istanbul, Turki, pada awal Oktober 2018. Banyak pihak yang menuding MBS sebagai aktor utama di balik pembunuhan pengkritik asal Saudi itu.
Selama wawancara dengan CBS, Pangeran Mohammed membantah telah memerintahkan pembunuhan Khashoggi. Namun ia mengatakan bertanggung jawab penuh atasnya sebagai pemimpin de facto kerajaan.
Konsolidasi Kontrol
Beberapa pengkritik mengatakan kebijakan luar negeri MBS yang agresif terhadap Iran dan keterlibatan dalam perang di Yaman membuat kerajaan itu diserang.
Mereka juga menyatakan frustrasi bahwa putra mahkota tidak dapat mencegah serangan tersebut meskipun telah menghabiskan ratusan miliar dolar untuk pertahanan, menurut lima sumber dan salah satu diplomat senior.
Dalam sambutannya baru-baru ini di New York, Menteri Saudi Jubeir mengatakan pertahanan udara kerajaan telah menghentikan ratusan rudal balistik dan puluhan pesawat tak berawak yang masuk ke Arab Saudi.
Dia menambahkan bahwa kegagalan untuk mendeteksi serangan 14 September sedang dicermati, tetapi ia juga mengakui "sangat sulit untuk mendeteksi benda-benda kecil yang terbang pada ketinggian tiga ratus kaki”.
Beberapa elit Saudi mengatakan upaya putra mahkota untuk mengkonsolidasikan kontrol telah melukai kerajaan. Satu sumber yang dekat dengan kalangan pemerintah mengatakan MBS telah menempatkan pejabat yang umumnya kurang berpengalaman dibandingkan dengan sebelumnya.
Sang pangeran menggulingkan Mohammed bin Nayef sebagai putra mahkota dan menteri dalam negeri dua tahun lalu. Bin Nayef diketahui memiliki pengalaman selama hampir dua dekade dalam peran senior di kementerian itu serta bertanggung jawab atas kepolisian dan intelijen domestik.
MBS kemudian menunjuk seorang sepupu berusia 33 tahun sebagai penggantinya, setelah menempatkan bidang-bidang utama intelijen dan anti-terorisme di bawah lingkup pengadilan kerajaan.
Pangeran Mohammed juga menyingkirkan Pangeran Miteb bin Abdullah, yang telah mengawasi atau secara efektif memimpin pasukan keamanan internal elit kerajaan, Garda Nasional Arab Saudi, sejak tahun 1996.
Peran Pangeran Miteb akhirnya diganti pada akhir tahun lalu oleh Pangeran Abdullah bin Bandar bin Abdulaziz, yang saat itu berusia 32 tahun dan pernah menjadi wakil gubernur Mekah selama kurang dari dua tahun.
Putra Favorit
Sejumlah orang dalam dan diplomat Negara Barat mengatakan keluarga kerajaan tidak mungkin menentang MBS selama Raja Salman masih hidup. Sang Raja tidak mungkin berbalik melawan putra kesayangannya ini.
Raja telah mendelegasikan sebagian besar tanggung jawab pemerintahan kepada putranya meskipun masih memimpin rapat kabinet mingguan dan menerima pejabat-pejabat asing.
Terlepas dari masa depan raja, sejumlah orang dalam dan diplomat mengatakan tantangan terhadap otoritas MBS bisa sulit dilancarkan mengingat cengkeramannya pada struktur keamanan internal.
Beberapa bangsawan memandang Pangeran Ahmed bin Abdulaziz yang berusia 77 tahun, satu-satunya saudara lelaki Raja Salman yang masih hidup, sebagai alternatif yang mungkin yang akan mendapat dukungan dari anggota keluarga, aparat keamanan dan beberapa negara Barat.
"Mereka semua memandang Ahmed untuk melihat apa yang dia lakukan. Keluarga terus berpikir bahwa dialah satu-satunya yang bisa menyelamatkan mereka,” ungkap seorang pengusaha terkemuka.
Namun tidak ada bukti Pangeran Ahmed bersedia memainkan peran itu, menurut sejumlah pengamat. Pangeran Ahmed hampir tidak pernah tampak sejak kembali ke Riyadh pada Oktober 2018 setelah melakukan perjalanan selama 2,5 bulan ke luar negeri.
Selama perjalanan itu, ia tampak mengkritik kepemimpinan Saudi ketika menanggapi pengunjuk rasa di luar kediaman London yang meneriakkan kejatuhan dinasti kerajaan, Al Saud.
Pangeran Ahmed adalah satu dari tiga orang di Allegiance Council, suatu dewan terdiri dari anggota senior keluarga penguasa, yang menentang MBS menjadi putra mahkota pada 2017, menurut dua sumber pada saat itu.