Bisnis.com, JAKARTA - Aktivis Dandhy Dwi Laksono terancam hukuman lima tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus SARA yang menjerat dirinya akibat mengunggah kabar tentang Jayapura dan Wamena di Twitter.
"Ancaman penjara lima tahun ke atas [terhadap Dandhy]," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jumat (27/9/2019).
Menurutnya, tweet Dandhy di Twitter pada 23 September terkait kerusuhan di Papua dan Wamena belum tentu benar. Malahan, unggahannya itu bisa membuat masyarakat resah.
Pada tweet-nya yang dipemasalahkan polisi, Dandhy mengunggah dua keterangan foto. pada foto Jayapura Dandhy menulis, "Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas."
Adapun pada foto kedua yang bertulis Wamena, Dandhy menulis, "Siswa protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat, kota rusuh. Banyak yang luka tembak."
Dalam surat penangkapannya, Dandhy diduga melakukan tindak pidana setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan golongan.
Hal itu diatur dalam pasal 28 ayat (2) jo pasal 45 A ayat (2) Undang-undang Nomoe 11 Tahun 2008 tentang perubahan atas undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang ITE dan/atau pasal 14 dan pasal 15 undang-undang 1 tahun 1946 tentang hukum pidana.
Namun begitu, Kuasa Hukum Dandhy Algiffari Aqsa menyebut pasal yang dikenakan untuk kliennya tidak relevan.
Dia mengatakan polisi mempermasalahkan tentang tweet Dandhy mengenai kondisi di Papua dan Wamena pada 23 September 2019. Namun pasal yang dikenakan adalah pasal ujaran kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan.
"Menurut kami, ini pasal tidak relevan, terlebih lagi banyak sekali korban dari UU ITE. Dan yang dilakukan oleh Bung Dandhy adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat, menyampaikan apa yang terjadi di Papua," katanya Jumat (27/9/2019).
Menurut Algiffari, pihaknya sempat protes lantaran surat penangkapan tidak didahului dengan pemanggilan sebagai saksi atau langsung memanggil sebagai tesangka. Apalagi penangkapan dilakukan tiba-tiba pada malam hari.
"Pihak kepolisian beralasan karena ini soal SARA, ini bisa membuat keonaran dan sebagainya. Kami protes keras, karena seharusnya dia dipanggil secara patut dulu. Ketika dia tdk kooperatif, satu, dua, tiga panggilan, baru bisa ditangkap, menurut kami," terangnya.