Bisnis.com, JAKARTA -- Vietnam menjadi korban dari kesuksesannya sendiri di tengah perang dagang. Bisnis sedang booming tetapi kondisi itu juga berarti meroketnya biaya tenaga kerja dan kemacetan parah di jalan dan pelabuhan.
Mesin pertumbuhan Asia Tenggara tersebut didominasi oleh populasi generasi muda kelas menengah dan terus tumbuh, setumpuk perjanjian perdagangan bebas, dan industri manufaktur yang berkembang pesat.
Bisnis asing mulai dari Alphabet Inc. hingga Crate & Barrel Holdings Inc. bahkan harus mengantri untuk menanamkan investasinya di Vietnam dalam migrasi rantai pasokan dari negara tetangga, China, yang selama 2 dekade terakhir mengemban tugas sebagai pabrik dunia.
Dilansir melalui Bloomberg, saat ini Vietnam justru kewalahan untuk merealisasikan ekspektasi pasar global terhadap kemampuannya untuk menggantikan China.
Semakin hari, ada semakin banyak bisnis yang mengeluhkan soal kemacetan di pelabuhan dan di jalan-jalan kota Vietnam, kenaikan upah pekerja dan harga tanah, hingga regulasi yang tak kunjung dipermudah.
"Jika Vietnam tidak dapat mempercepat kemajuan dalam menutup kesenjangan infrastrukturnya, mereka berisiko kehilangan status mini-China yang telah menarik begitu banyak klien pemaso," kata Wakil Direktur Bain & Co. Gerry Mattios, produsen mainan yang berbasis di Singapura, seperti dikutip melalui Bloomberg, Rabu (18/9/2019).
Dia menambahkan, beban yang ditanggung perusahaan jauh lebih tinggi dari manfaat yang mereka dapatkan, sebagian produsen memilih Sri Lanka dan Kamboja sebagai lokasi alternatif.
Untuk saat ini, Vietnam masih kebanjiran investasi. Laporan pemerintah menunjukkan total investasi asing langsung yang dicairkan naik 6,3% menjadi US$12 miliar pada 8 bulan pertama tahun ini dari periode yang sama pada 2018, dengan jumlah proyek terdaftar yang baru melonjak 25% mencapai 2.406 proyek.
Infrastruktur adalah tantangan besar bagi Vietnam, terutama di pelabuhannya.
China mengklaim 6 dari 10 pelabuhan teratas berdasarkan lalu lintas peti kemas di dunia, termasuk Shanghai di peringkat nomor satu.
Sementara itu, dua pelabuhan terbesar Vietnam, Pelabuhan Ho Chi Minh dan Cai Mep, berada pada peringkat 25 dan 50, menurut data yang dikompilasi oleh Bloomberg Intelligence.
Pangsa lalu lintas kontainer global Vietnam hanya 2,5% pada 2017 dibandingkan 40% untuk China.
Analisis Bloomberg Intelligence menyimpulkan, kapasitas peti kemas pengiriman perlu tumbuh hampir dua kali lipat kecepatan 10% -12% dalam dekade terakhir, serta melipatgandakan logistik pihak ketiga dan praktik pengangkutan barang untuk memenuhi permintaan baru.
Menurut ekonom Bloomberg, Vietnam tidak memiliki infrastruktur maritim, pelabuhan peti kemas besar dan jaringan pengiriman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapasitas ekspor yang cepat. Kondisinya tidak mungkin cocok dengan aparatur perdagangan China yang telah berakar selama beberapa tahun.
Pemerintah Vietnam memperkirakan diperlukan biaya sekitar 80 triliun-100 triliun dong, atau senilai US$3,44 miliar-US$4,31 miliar untuk mengembangkan pelabuhannya.
Untuk meminimalisir dampak merugikan dari hambatan di pelabuhan, pemerintah Vietnam perlu melakukan investasi besar-besaran untuk pengadaan gudang, pelabuhan, terminal kereta api, dan depo peti kemas darat, sebagai permulaan.
Bloomberg Intelligence I juga merekomendasikan perusahaan pengiriman peti kemas nasional atau kuasi untuk mendukung perdagangan lintas batas skala besar.
"Dengan situasi saat ini, Vietnam dipastikan tidak dapat memenuhi gelombang permintaan dari perusahaan-perusahaan yang memutuskan untuk pindah ke sana," ujar Tsai Wen Jui, Direktur DDK Group, produsen sadel sepeda yang berbasis di Taiwan.
Dia menambahkan, bahkan jika hanya 5% dari perusahaan Taiwan di China pindah ke Vietnam, infrastrukturnya akan kewalahan.
Selain infrastruktur, hambatan lain yang dihadapi oleh pelaku bisnis adalah harga properti yang melonjak tajam.