Kabar24.com, JAKARTA — Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Vice President Treasury Management Garuda 2005—2012, Albert Burhan, Kamis (12/9/2019).
Dia dipanggil untuk melengkapi berkas penyidikan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., Emirsyah Satar terkait dengan kasus dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.D dan Rolls-Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA).
"Dipanggil sebagai saksi untuk tersangka ESA [Emirsyah Satar]," ujar Juru bicara KPK Febri Diansyah, Kamis.
Selain Burhan, tim penyidik secara bersamaan memanggil satu pegawai Garuda Indonesia, Rajendra Kartawiria, untuk menjadi saksi dengan tersangka yang sama.
Adapun keduanya sebelumnya pernah dipanggil KPK pada Senin (8/9/2019), namun tak terkonfirmasi apakah menghadiri panggilan KPK atau tidak.
Dalam perkara ini, Emirsyah diduga menerima suap 1,2 juta euro dan US$180.000 atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai US$2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur asal Inggris, Rolls-Royce.
Suap tersebut berkaitan dengan pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS selama periode 2005—2014 pada PT Garuda Indonesia, yang diduga diterima dari pendiri PT Mugi Rekso Abadi sekaligus beneficial owner Connaught International Pte. Soetikno Soedarjo, selaku perantara suap.
Dalam perkembangannya, KPK juga mengidentifikasi dugaan suap lainnya terkait pembelian pesawat Airbus, Avions de Transport Regional (ATR) dan pesawat Bombardier.
KPK sebelumnya menemukan fakta yang signifikan bahwa aliran dana yang diberikan tidak hanya berasal dari perusahaan Rolls-Royce, melainkan juga dari pihak pabrikan lain yang mendapatkan proyek di PT Garuda Indonesia.
Emirsyah Satar saat menjabat direktur utama Garuda melakukan beberapa kontrak pembelian dengan empat pabrikan pesawat pada 2008—2013 dengan nilai miliaran dolar Amerika Serikat.
Kontrak itu yakni pembelian mesin Trent seri 700 dan perawatan mesin (Total Care Program) dengan Rolls-Royce dan kontrak pembelian pesawat Airbus A330 dan Airbus A320 dengan perusahaan Airbus S.A.S
Kemudian, kontrak pembelian pesawat ATR 72-600 dengan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR) dan kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan perusahaan Bombardier Aerospace Commercial Aircraft.
Selaku konsultan bisnis atau komersial dari Rolls-Royce, Airbus dan ATR, Soetikno diduga telah menerima komisi dari tiga pabrikan tersebut.
Selain itu, Soetikno diduga menerima komisi dari perusahaan Hong Kong bernama Hollingsworth Management Limited International Ltd (HMI) yang menjadi Sales Representative dari Bombardier.
Pembayaran komisi tersebut diduga terkait dengan keberhasilan Soetikno membantu tercapainya kontrak antara PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., dan empat pabrikan tersebut.
Soetikno selanjutnya memberikan sebagian dari komisi tersebut kepada Emirsyah Satar serta pada mantan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada Garuda Hadinoto sebagai hadiah atas dimenangkannya kontrak oleh empat pabrikan.
Soetikno diduga memberi Emirsyah Satar senilai Rp5,79 miliar untuk pembayaran rumah di Pondok Indah, US$680.000 dan 1,02 juta euro yang dikirim ke rekening perusahaan milik Emirsyah Satar di Singapura, dan 1,2 juta dolar Singapura untuk pelunasan apartemen milik Emirsyah Satar di Singapura.
Emirsyah dan Soetikno kemudian dijerat KPK dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
KPK juga mengidentifikasi bahwa ada aliran suap senilai Rp100 miliar yang mengalir ke sejumlah pihak lainnya. Artinya, masih ada pihak lain yang turut terciprat uang suap dari kasus ini.
"[Uang suap] dalam bentuk berbagai mata uang, mulai dari rupiah, dolar Amerika Serikat, euro, dan dolar Singapura," ujar Febri, Senin (19/8/2019).