Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

48 Jam di ‘Unexpected’ Hong Kong

Ahad pagi (11/8/2019) sekitar pukul 06.00 waktu setempat, Shanghai masih diselimuti awan hitam. Namun, hujan deras yang berlangsung sejak 2 hari sebelumnya, sudah tidak terlihat.
Sebuah boneka milik pengunjuk terjatuh ketika polisi anti huru-hara memblokir jalan akibat unjuk rasa menyerukan reformasi demokratis di perumahan Tai Po, Hong Kong, 5 Agustus 2019./ Reuters
Sebuah boneka milik pengunjuk terjatuh ketika polisi anti huru-hara memblokir jalan akibat unjuk rasa menyerukan reformasi demokratis di perumahan Tai Po, Hong Kong, 5 Agustus 2019./ Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Ahad pagi (11/8/2019) sekitar pukul 06.00 waktu setempat, Shanghai masih diselimuti awan hitam. Namun, hujan deras yang berlangsung sejak 2 hari sebelumnya, sudah tidak terlihat.

Tidak hanya hujan, kota dengan salah satu pelabuhan tersibuk di dunia itu juga diterjang angin kencang dengan kecepatan maksimum hingga 190 km per jam. Lekima, nama badai itu, bergerak dari Samudera Pasifik menuju dataran China.

Taifun Lekima sempat menghampiri Shanghai sehari sebelumnya dan membuat bandara internasional di kota itu ditutup pada Sabtu (10/8/2019). Penutupan ini merupakan respons atas keputusan Pemerintah China mengeluarkan ‘red alert’ terhadap badai tropis tersebut.

Harap-harap cemas menghantui tim Bisnis Indonesia Group yang berencana menuju Hong Kong setelah berkunjung ke markas raksasa teknologi dan e-commerce Alibaba di Hangzhou.

Selain karena Lekima, kami—yang satu kelompok terdiri dari 5 orang—juga harus menghadapi kemungkinan pembatalan penerbangan karena penutupan bandara Hong Kong.

Ya, para demonstran telah menduduki bandara internasional Hong Kong untuk menyampaikan orasi. Aksi protes dimulai pada Juni lalu yang bermula dari penolakan terhadap rancangan undang-undang (RUU) pelonggaran ekstradisi ke daratan China.

Aksi demonstrasi ini telah berkembang menjadi tantangan terbesar bagi China sejak Inggris melepaskan Hong Kong—bekas jajahannya itu—pada 1997. Unjuk rasa tersebut juga telah menarik perhatian dunia internasional karena terus berlangsung hingga saat ini.

Pukul 09.00, matahari mulai terlihat. Awan hitam perlahan-perlahan mulai pergi dan bandara Shanghai kembali dibuka dan penerbangan kami ke Hong Kong pun sesuai dengan jadwal semula.

Namun, rasa was-was masih ada. Apa yang akan terjadi ketika kami mendarat di Hong Kong? Apakah demonstrasi makin meluas? Apakah kami tidak bisa meninggalkan bandara dan harus bermalam di sana?

Pesawat Cathay Dragon yang kami tumpangi akhirnya tiba di Hong Kong pada pukul 16.00 waktu setempat. Melewati bagian imigrasi, tidak terlihat tanda-tanda eskalasi demonstrasi. Namun, di terminal kedatangan bandara, para demonstran masih bertahan, walaupun jumlahnya tidak sebanyak yang diberitakan pada hari sebelumnya.

Mereka berkumpul di sejumlah titik yang diberi pembatas pagar besi dan dijaga oleh petugas keamanan bandara. Mengenakan pakaian serba hitam, para demonstran membagikan selebaran kepada para penumpang.

Saya mengambil selebaran berwarna kuning tersebut dan membaca judulnya, “Dear travelers, welcome to Hong Kong. Please forgive us for the ‘unexpected’ Hong Kong.”

Selebaran itu diberi ilustrasi berupa seorang wartawan tengah memotret para demonstran yang menyiram gas air mata dan salah satu dari mereka menginjak helm polisi dan karton bertuliskan China Extradition Bill.

Di bawah ilustrasi itu, terdapat kalimat yang menjelaskan bahwa Hong Kong tengah tercabik-cabik dan sekarat. Selebaran itu berusaha menegaskan bahwa para demonstran sedang berjuang untuk Hong Kong yang lebih baik di masa mendatang.

We shall never surrender,” mengutip tulisan di selebaran tersebut.

48 Jam di ‘Unexpected’ Hong Kong

Dalam selebaran lain, para demonstran juga menyampaikan sejumlah tuntutan, a.l. meminta agar RUU ekstradisi dibatalkan sepenuhnya, menolak aksi damai pada 612 (12 Juni 2019) dicap sebagai kerusuhan (riot) dan para demonstran tidak dikenakan sanksi kriminal, serta polisi yang melakukan kekerasan agar diadili.

Aksi demonstrasi di bandara Hong Kong—yang mengakibatkan lebih dari 300 penerbangan dibatalkan—pada hari itu berlangsung dengan damai. Para penumpang dapat dengan bebas beraktivitas. Bandara tetap terlihat ramai.

Kami pun menumpang bus menuju penginapan di kawasan Tsim Sha Shui, distrik perbelanjaan yang dipenuhi dengan toko-toko serta tempat makan yang cocok bagi turis. Perjalanan ke penginapan berlangsung tanpa hambatan. Tidak terlihat para demonstran di sepanjang jalan.

Setelah beristirahat sebentar, sekitar pukul 17.30 waktu setempat, kami memutuskan untuk melihat kondisi Hong Kong pascademonstrasi besar-besaran.

Menyusuri Nathan Road yang tenang, aktivitas warga Hong Kong tampak normal. Tiba-tiba, dari arah utara terdengar sirine mobil polisi beriringan dan bergerak dengan kecepatan tinggi menuju arah Kowloon Park yang dekat dengan Kimberley Road—lokasi kami menginap.

DEMONSTRASI

Kami menduga telah terjadi demonstrasi. Benar saja, selepas makan malam dan kembali ke hotel, ruas Nathan Road ditutup mulai dari Stasiun Mass Transit Railway (MTR) Jordan hingga Kimberley Road. Toko-toko tutup dan di sekitarnya, para polisi bersiaga membawa tameng.

Entah mengapa, polisi melarang kami menyusuri trotoar dan memberi isyarat untuk melalui jalan raya. Mobil polisi berbaris di sepanjang jalan tersebut, bercampur dengan mobil warga, bis, dan taksi.

Kawasan trotoar diisolasi, sejumlah lampu penerang di trotoar pun padam. Kami tidak bisa melihat apa yang tengah terjadi di trotoar yang dijaga ketat oleh aparat keamanan Hong Kong.

Sementara itu, di jalan raya, terlihat sejumlah butiran kelereng berwarna bening. Cahaya penerangan pun minim. Kami berjalan cepat dengan rasa cemas, berharap segera sampai di Kimberley Road.

Sekitar 50 m dari Kimberley Road, kami melihat kerumunan polisi, wartawan, dan masyarakat. Rasa lega muncul. Namun, di Kimberley Road, terlihat sisa-sisa demonstrasi, seperti sejumlah masker, kardus, dan gunting yang tergeletak di jalanan.

48 Jam di ‘Unexpected’ Hong Kong

Saya pun bertanya apa yang telah terjadi di tempat itu kepada wartawan Reuters asal Malaysia yang tengah mengambil gambar. Dia menjelaskan, baru saja terjadi demonstrasi, tetapi tidak bisa memberikan penjelasan lebih detail.

Menurut pengakuan masyarakat sekitar, telah terjadi aksi unjuk rasa di kawasan tersebut yang berujung pada penangkapan sejumlah demonstran. Menurut laporan media lokal, bentrokan terjadi karena pengunjuk rasa kembali menyerang kantor polisi di Tsim Sha Tsui.

Gas air mata ditembakkan untuk membubarkan massa. Sebagian besar dari para demonstran melarikan diri dan sebagian kecil bertahan di lokasi kejadian. Mereka masih berhadap-hadapan dengan polisi yang siaga dengan tameng dan pentungan.

48 Jam di ‘Unexpected’ Hong Kong

Tak berapa lama kemudian, para demonstran berteriak ketika beberapa kawan mereka dibawa masuk ke bus polisi dengan tangan terikat. Bus kemudian pergi meninggalkan lokasi yang disambut oleh teriakan demonstran yang lebih keras.

Sebagian polisi kemudian pergi dan sebagian lain masih bertahan di lokasi untuk mengatur lalu lintas. Mobil-mobil yang terjebak di tengah arena demonstrasi akhirnya dipersilakan melanjutkan perjalanan.

Namun, ada momen menarik terjadi. Seorang supir taksi terlihat berteriak ke arah demonstran. Dari raut wajahnya, dia tampak gusar dan marah.

Memang, menurut pengakuan tim editorial South China Morning Post (SCMP) yang kami temui di kantor mereka pada Senin (12/8/2019), masyarakat Hong Kong saat ini terpecah menjadi tiga kubu.

Pertama, para demonstran yang identik dengan pakaian hitam. Kedua, mereka yang antidemonstran dengan pakaian putih. Ketiga, masyarakat yang netral. Oleh karena itu, kami diberi pesan untuk tidak menggunakan pakaian yang warnanya identik dengan kubu pertama dan kedua.

Mereka juga menjelaskan bahwa demontsrasi di Hong Kong ini sangat terstruktur dan menggunakan strategi gerilya sehingga polisi kesulitan untuk menghadapi para demonstran.

48 Jam di ‘Unexpected’ Hong Kong

BANDARA DITUTUP

Sore harinya, setelah berkunjung ke SCMP, kami mendapatkan kabar bahwa bandara ditutup total akibat demonstrasi. Seluruh penerbangan dibatalkan pada hari itu. Rasa was-was kembali muncul karena keesokan harinya adalah jadwal penerbangan kami ke Jakarta.

Selasa (13/8/2019) pagi, bandara kembali dibuka. Sekitar pukul 11.00 waktu setempat, kami bergegas menuju bandara internasional Hong Kong. Sesampainya di sana, para demonstran masih terlihat, walaupun jumlahnya tidak banyak.

Bandara Hong Kong terlihat begitu padat. Antrean untuk check-in mengular panjang. Selain itu, terlihat juga kelompok penumpang yang duduk di lantai bandara. Menurut petugas, mereka adalah penumpang yang penerbangannya dibatalkan kemarin dan belum mendapatkan tiket pengganti.

48 Jam di ‘Unexpected’ Hong Kong

Setelah melakukan check-in penerbangan, sayup-sayup mulai terdengar teriakan dari para demonstran. Kami bergegas masuk ke ruang tunggu pesawat. Di bagian imigrasi, pengecekan terhadap penumpang dilakukan begitu ketat.

Di ruang tunggu, demonstran dikabarkan kembali mencoba menduduki bandara, berdasarkan pantauan dari media sosial. Waktu berjalan terasa begitu lambat. Rasa cemas mengusik pikiran karena belum ada kepastian apakah penerbangan kami pada pukul 15.00 waktu setempat dilanjutkan atau dibatalkan.

Sekitar pukul 14.45, kami baru mendapatkan informasi untuk naik ke pesawat. Rasa lega dan syukur menyeruak menjadi satu karena kami berhasil kembali ke Jakarta di tengah ketidakpastian situasi di Hong Kong.

Apalagi, ada sebagian warga Indonesia yang masih terjebak di bandara seperti 47 orang yang tergabung dalam tim renang DKI Jakarta. Mereka sedianya akan berangkat pada malam hari, tetapi karena ribuan pendemo menduduki pintu keberangkatan, penerbangan mereka dibatalkan.

Setibanya kami di Jakarta, tersiar kabar bahwa bentrokan antara demonstran dan polisi pecah di bandara Hong Kong. Bahkan, terdapat korban luka-luka parah akibat kejadian tersebut. “Betul-betul Unexpected Hong Kong,” batin saya.

DAMPAK EKONOMI

Demonstrasi Hong Kong yang tak kunjung usai telah membawa dampak serius bagi negara tersebut. Goldman Sachs memperkirakan produk domestik bruto (PDB) negara bekas jajahan Inggris ini menyusut menjadi 0,5 persen pada kuartal III/2019 dan hanya 0,2 persen sepanjang 2019.

Industri perhotelan di Hong Kong juga terpukul oleh aksi unjuk rasa. Menurut Yiu Si-wing, seorang anggota parlemen Hong Kong yang mewakili industri pariwisata, perolehan pendapatan dari penjualan kamar diproyeksikan anjlok 50 persen bulan ini.

Kemerosotan itu akan memberi pukulan lebih lanjut pada ekonomi Hong Kong yang sudah berkontraksi pascakerusuhan selama berbulan-bulan dan terdampak sengketa perdagangan Amerika Serikat-China.

Tingkat hunian hotel yang rata-rata mencapai 90 persen pada paruh pertama, ujar Yiu seperti dilansir Bloomberg, akan turun sepertiga atau lebih. Kunjungan dari China daratan ke Hong Kong, sebagai tempat tujuan belanja utama bagi masyarakat China, pun bakal turun.

Cerita dari Hong Kong mengingatkan kita bahwa ketidakstabilan kondisi politik dan keamanan yang berlarut-larut akan berdampak buruk terhadap perekonomian. Cerita yang sama bisa terjadi di Indonesia, apabila kita sibuk menampilkan perbedaan untuk memicu perpecahan.

Selamat ulang tahun Indonesia! Karena dengan bersatu, kita akan makin maju.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maftuh Ihsan
Editor : Surya Rianto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper