Bisnis.com, JAKARTA -- Kepolisian Hong Kong telah menahan 420 orang sejak 9 Juni 2019, di tengah gelombang unjuk rasa yang melanda kota pelabuhan itu.
Seperti dilansir Reuters, Senin (5/8/2019), Kepolisian Hong Kong juga mengungkapkan sudah menembakkan 1.000 gas air mata dan sekitar 160 peluru karet. Adapun Hong Kong menghadapi serangkaian aksi protes setidaknya sejak akhir Maret 2019, tapi skalanya terus membesar.
Pernyataan Kepolisian Hong Kong ini disampaikan usai Kepala Eksekutif Carrie Lam menegaskan dirinya tak akan mundur. Dalam konferensi pers pada pagi tadi, dia menyebut demonstrasi yang terjadi sebagai suatu kegiatan ilegal dan akan membahayakan "One Country, Two Systems" yang dianut Hong Kong sejak diserahkan oleh Inggris ke China pada 1997.
Kondisi ini pun dianggap bakal menjadi awal kejatuhan kemakmuran dan stabilitas Hong Kong.
Unjuk rasa besar-besaran yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan itu awalnya dilakukan untuk memprotes rencana penerapan RUU Ekstradisi, yang memungkinkan pelaku kejahatan disidang di pengadilan di China daratan.
Hal ini ditentang karena dipandang berlawanan dengan proses peradilan yang dianut Hong Kong. Berbeda dengan para penduduk China daratan, warga Hong Kong memang bisa menikmati kebebasan yang lebih besar.
Baca Juga
Namun, kini aksi itu sudah meluas ke berbagai isu, termasuk ketidakpuasan terhadap pemerintah setempat. Pada Senin (5/8), para pengunjuk rasa memblokir transportasi umum, seperti bus dan kereta, sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah. Jalan-jalan utama serta bandara Hong Kong juga lumpuh.
Pada Minggu (4/8) malam, polisi menahan 44 orang dalam bentrokan dengan pengunjuk rasa.