Bisnis.com, JAKARTA - Bentrokan baru pecah antara demonstran pro-demokrasi dan polisi di Hong Kong tadi malam setelah puluhan demonstran didakwa dengan tuduhan pelaku tindak kekerasan dengan ancaman hingga 10 tahun.
Salah satu pusat keuangan dunia itu dilanda aksi protes sejak tujuh minggu terakhir yang diwarnai akasi kekerasan. Penyebabnya dipicu oleh pembahasan RUU ekstradisi yang kontroversial dan memungkinkan ekstradisi warga Hong Kong ke daratan China.
Aksi itu kemudian berubah menjadi seruan untuk melakukan reformasi demokrasi yang lebih luas. Para aktivis menolak pembatasan kebebasan yang kini menjadi tantangan paling signifikan terhadap pemerintahan Beijing sejak penyerahan kota itu pada tahun 1997.
Ratusan orang memprotes tindakan polisi yang mengumumkan bahwa 44 orang yang ditangkap dalam bentrokan pada hari Minggu (28/7/2019) telah didakwa dengan tuduhan melakukan kerusuhan. Para pengunjuk rasa menanggapi tuduhan polisi dengan melemparkan botol plastik dan payung.
Dalam cuplikan tayang langsung di Now TV, seorang perwira terlihat mengarahkan senapan ke arah pengunjuk rasa yang melemparkan benda ke arahnya di stasiun bus terdekat. Para pendemo itu akhirnya bisa dihalau.
Aksi kekerasan dan bentrokan dengan polisi meningkat dalam dua pekan terakhir. Polisi yang telah berulang kali menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan kerumunan orang yang malah kian membuat suasana makin panas.
Sekelompok preman pro-pemerintah juga menyerang pengunjuk rasa yang membuat 45 orang terpaksa dilarikan rumah sakit seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Rabu (31/7/2019).
Sebelum bentrokan pecah, para pemrotes meneriakkan slogan-slogan demokrasi dan menyemprotkan grafiti di dinding gedung.
Melakukan kerusuhan adalah salah satu pelanggaran ketertiban umum yang paling serius berdasarkan undang-undang Hong Kong dan dijatuhi hukuman hingga satu dekade penjara.
Edward Leung, seorang aktivis terkemuka, dipenjara selama enam tahun setelah dia dinyatakan bersalah atas kerusuhan dalam bentrokan dengan polisi pada tahun 2016.
Keputusan untuk menuntut 44 pemrotes itu terjadi sehari setelah Beijing secara terbuka mendukung tindakan pemimpin Hong KongCarrie Lam dan polisi. Pejabat China mengatakan para pemrotes yang kejam harus segera dihukum.
Mereka juga menuduh politisi Barat membuat "pernyataan tidak bertanggung jawab" untuk "mengacaukan Hong Kong" dan mengganggu perkembangan China.