Bisnis.com, BANDUNG - Salah satu kota termacet di dunia, Manila, berencana mengatasi masalah mobilitas penduduk dan barang di kota tersebut dengan membangun sejumlah pulau reklamasi.
Rencananya, pulau-pulau reklamasi tersebut akan memiliki luas hingga 90 kilometer persegi atau hampir separuh dari luas kota Washington DC. Di atas pulau-pulau reklamasi tersebut akan dibangun bandara baru, kondominiun, kasino, taman wisata dan area komersial.
Luas pulau-pulau reklamasi tersebut mencapai 15 kali lebih luas dari Pulau Palm Jumeirah di Dubai.
Pengembang kini tengah antri untuk mendapatkan bagian di dalam pembangunan tersebut. Seperti dikutip dari Bloomberg, SM Prime Holdings Inc., kontraktor besar di Filipina, Udenna Development Corp. serta China Harbour Engineering Co. ikut ke dalam peserta lelang. Dari data Otoritas Reklamasi Filipina, sebanyak 22 proposal telah masuk untuk memperebutkan proyek yang nilainya mencapai US$34 miliar.
Namun, pecinta lingkungan dan komunitas masyarakat setempat yang mencari penghidupan sebagai nelayan secara turun menurun khawatir proyek besar tersebut akan berdampak bagi penghidupan mereka dan seluruh kota.
"Pemerintah mengatakan reklamasi Pantai Manila telah dalam progres, tetapi untuk siapa ? ini progres untuk mereka, bukan untuk kami," kata seorang nelayan Samuel Miller, Jumat (19/07/2019).
Dia mempertanyakan bagaimana caranya masyarakat ikut ambil bagian dari pembangunan ini jika mereka harus kehilangan rumah dan lingkungannya.
Dilema Manila sebenarnya dialami juga oleh banyak kota besar di negara berkembang. Pertumbuhan populasi yang tinggi dipicu oleh migrasi dari daerah pedesaan telah melampaui kapasitas jalan, transportasi, energi dan drainase. Dari data Waze Mobile 2016, Manila tercatat sebagai kota dengan tingkat kemacetan terburuk di antara 189 kota.
Dalam kasus Manila, masalah tersebut diperburuk oleh geografi. Ibukota Filipina tersebut terdiri dari 16 kabupaten dan satu kotamadya yang diapit Danau Laguna dan pegunungan Rizal di timur, serta Teluk Manila di barat. Manila memiliki populasi 25 juta, sedikit lebih kecil dari Tokyo, Jakarta dan New Delhi.
Seiring pertumbuhan kota, lahan pertanian berubah menjadi zona industri dan kawasan teknologi, dan bukit-bukit di sekitarnya dibuldozer untuk membuat lebih banyak ruang. Seperti kota-kota lain yang dibatasi oleh masalah geografi, a.l. Hong Kong, Singapura, dan Tokyo, Manila akhirnya memilih untuk memperluas wilayahnya ke arah laut.
"Tidak ada ruang tempat kami dapat membangun bisnis baru," kata Walikota Navotas Tobias Tiangco. Navotas adalah salah wilayah yang akan membangun pulau reklamasi khusus bagi hub nelayan.
Dia menilai reklamasi bagus untuk kotanya, seperti yang dilakukan Singapura dan Hong Kong, sepanjang pulau tersebut memiliki area publik, rumah murah dan tidak mengusur penduduk asli.
Ambisi pulau reklamasi ini dimunculkan oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam program pembangunan infrastrukturnya. Dia mendorong perusahaan swasta untuk ikut ambil bagian dalam lelang proyek yang ditujukan bagi pengentasan masalah kemacetan.
Asisten General Manager Otoritas Reklamasi Joselito Gonzales mengatakan rencana untuk membangun dapat mengeruk miliaran dolar AS transaksi komersial.
Pada awal 2000-an, pengembang secara agresif membeli lahan di Manila karena permintaan kantor dari investor luar negeri dan perusahaan operator gaming dari China kian bertambah. Alhasil, harga tanah meningkat tajam hingga mencapai rekor US$17.600 per meter persegi.
Manager Riset Properti KMC Savills Inc. Fredrick Rara menuturkan harga tanah tersebut mencapai tiga kali lipat dari harga membangun pulau reklamasi per meternya.
"Melihat tren harga tanah, jika ada kesempatan, [reklamasi] lebih baik," ujarnya kepada Bloomberg.
Tetapi reklamasi tanah di Teluk Manila yang dangkal dan sebagian besar tertutup dapat memiliki konsekuensi besar bagi lingkungan.
Manila dibangun di atas delta sungai yang rendah dan kota tersebut berada di garis lintang yang rawan topan, gempa bumi, dan gelombang badai.
Sebuah penelitian di Universitas Hong Kong menunjukkan bahwa membangun pulau buatan dapat mengurangi kehidupan akuatik di teluk sampai seperlima dalam waktu lima tahun karena suhu, level, dan arus air berubah.
"Ini benar-benar akan menjadi kerugian bagi masyarakat," kata Agustin Arcenas, profesor ekonomi lingkungan dan sumber daya alam di Universitas Filipina. Dia mengakui akan ada keuntungan dan sumber pekerjaan baru. Namun, imbalannya adalah Manila akan kehilangan sumber daya alam dan mengalami kerusakan lingkungan.
Pemerintah Manila berjanji akan memperhatikan dengan jelas proposal reklamasi tersebut. "Kami tidak akan mengorbankan biodiversity di area tersebut untuk mendapatkan uang." kata Environment Department Undersecretary Benny Antiporda.