Bisnis.com, JAKARTA - Amnesty International Indonesia mempersoalkan pernyataan Polri yang menekankan status sembilan orang tewas di kerusuhan 21-22 Mei 2019 sebagai perusuh.
Di sisi lain, Polri justru tak membuka secara jelas misteri di balik tertembaknya mereka.
“Terminologi sapu rata bahwa semua dari sembilan orang korban jiwa adalah perusuh cenderung menyederhanakan masalah," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui keterangan tertulisnya pada Jumat (5/7/2019).
Sebelumnya, pada hari yang sama, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Suyudi Ario Seto mengungkapkan sembilan korban tewas dalam rangkaian kerusuhan 21-23 Mei 2019 di Jakarta adalah dari massa perusuh.
Dari sembilan orang tersebut, empat di antaranya telah diotopsi dan dinyatakan meninggal akibat peluru tajam.
Usman menilai, Polri perlu memberikan penjelasan yang rinci disertai bukti bahwa mereka semua terlibat dalam melakukan kekerasan melawan aparat dan mengancam jiwa petugas atau merusak sarana dan prasarana publik dalam kerusuhan 21-22 Mei.
Beberapa orang yang tewas juga diinvestigasi oleh media massa dan tim Amnesty yang hasilnya adalah mereka ada di kerumunan massa yang tidak semuanya melakukan kekerasan.
Terlepas keterlibatan mereka yang tewas di tengah kerusuhan 21-22 Mei, menurut Usman, mereka adalah korban dari kematian yang tidak sah atau unlawful death.
Kondisi ini mensyaratkan kewajiban negara untuk mengusut tuntas kasusnya. Polri harus memulainya dengan mencari pelaku dan bukti yang valid agar bisa dibawa ke ranah hukum.
“Kami juga menyerukan kepada pemerintah untuk memberikan reparasi bagi keluarga korban tewas, khususnya yang memiliki tanggungan anggota keluarga yang lain."