Kabar24.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka, Senin (10/6/2019).
Keduanya diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memaparkan konstruksi perkara dalam dugaan keterlibatan keduanya. Mulanya, pada September 1998, BPPN dan Sjamsul Nursalim melakukan penandatanganan penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Dalam MSAA tersebut, kata dia, disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengeloIaan BDNI dan Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset.
Jumlah kewajiban Sjamsul selaku Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNI adalah sebesar Rp47,258 miliar. Kemudian, lanjut Syarif, kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp18,850 miliar termasuk di antaranya pinjaman kepada petani/petambak sebesar Rp4,8 triliun.
"Aset senilai Rp4,8 triliun ini dipresentasikan SJN [Sjamsul Nursalim] seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bersamalah," kata Syarif, Senin (10/6/2019).
Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
Atas hasil FDD dan LDD tersebut, kata Syarif, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta Sjamsul menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut.
"Namun SJN [Sjamsul Nursalim] menolak," kata Syarif.
Pada Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul yang diwakili istrinya, Itjih Nursalim beserta pihak lain.
Pada rapat tersebut, Itjih menyampaikan bahwa Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi.
Kemudian, pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI saat itu agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (dihapusbukukan) namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul.
"Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN," kata Syarif.
Dia mengatakan setelah melalui beberapa proses dan meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan write off, namun pada April 2004 mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung dan Itjih Nursalim menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir.
Perjanjian itu pada pokoknya berisikan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA.
Selanjutnya, masih pada April 2004, Syafruddin menandatangani surat No. SKL 22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul.
"Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipesena menjadi hilang atau hapus," ujar Syarif.
Akhir April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih hutang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
Pada 24 Mei 2007, lanjut Syarif, PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp220 miliar. Padahal, nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.
"Sehingga, diduga kerugian keuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp4,58 triliun," ujar Syarif.
Atas perbuatannya, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.