Kabar24.com, JAKARTA — Advokat Eggi Sudjana masih memperlihatkan kepercayaannya pada mekanisme hukum untuk memprotes dugaan kecurangan Pemilu Presiden 2019.
Dari Rumah Tahanan Polda Metro Jaya, Eggi menuliskan surat bantahan telah melakukan tindak pidana makar dalam rangka memprotes hasil Pilpres 2019.
Menurutnya, terminologi ‘people power’ yang pernah terlontar adalah unjuk rasa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 9 dan 10 Mei 2019.
“Walaupun saat itu saya tidak boleh masuk ke Bawaslu tapi saya tidak memaksakan diri untuk masuk ke Bawaslu, jadi bukan makar,” ujarnya dalam surat bertanggal 28 Mei.
Eggi menambahkan gerakan people power telah berakhir karena pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mengajukan permohonan sengketa hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu pun mengaku tidak tahu-menahu bila berlangsung people power setelah 9-10 Mei 2019.
“Bahwa selanjutnya saya mengimbau kepada masyarakat untuk mengikuti langkah Paslon 02 ke jalur MK,” tulis Eggi.
Sebagai seorang advokat, Eggi memang tidak asing dengan perkara di MK. Bahkan, sebelum ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan makar, dia menjadi kuasa hukum calon anggota DPRD DKI Jakarta asal PAN, Lucky Andriyani, kala menggugat UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada 15 Maret 2019.
Norma yang diuji adalah Pasal 285 UU Pemilu mengenai sanksi bagi calon anggota legislatif (caleg) yang melakukan pelanggaran kampanye. Bentuk sanksi itu adalah pembatalan nama caleg dari daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai caleg terpilih berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Eggi mengatakan kliennya meminta pasal tersebut ditafsirkan MK hanya berlaku bila putusan pengadilan menyatakan telah mencabut hak politik sang terpidana. Menurut dia, penafsiran tersebut dapat menjamin kepastian hukum yang adil di hadapan hukum.
Sayangnya, MK menganggap Eggi tidak serius dalam perkara tersebut. Meskipun pemohon hadir pada sidang pemeriksaan pendahuluan 2 April, tetapi sidang perbaikan permohonan 15 April tidak dihadiri baik oleh pemohon maupun kuasa.
Selain itu, MK menilai permohonan tersebut tidak memuat identitas pemohon, melainkan hanya memuat nama kuasa. Padahal, berdasarkan hukum acara di MK, permohonan harus memuat nama dan alamat pemohon.
“Karena permohonan pemohon tidak memuat identitas pemohon prinsipal, maka permohonan pemohon adalah tidak memenuhi syarat formal permohonan, sehingga menurut Mahkamah permohonan yang demikian adalah kabur,” tulis MK dalam Putusan MK No. 23/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada 20 Mei.
Pada 2014, Eggi tercatat sebagai kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kala mengajukan sengketa hasil Pilpres 2014. Sayangnya, Eggi dan 134 advokat lain tidak berhasil meyakinkan MK untuk mengabulkan permohonan Prabowo-Hatta.
Selain sebagai kuasa hukum, Eggi juga kerap bertindak sebagai pemohon pengujian sejumlah UU ke MK. Eggi adalah pemohon uji materi delik penghinaan presiden atau wakil presiden yang akhirnya dibatalkan MK pada Desember 2006.