Kabar24.com, JAKARTA — Organisasi Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat menduga terjadi praktik kartel terkait dengan impor bawang putih.
Syaiful Bahari, Anggota Dewan Pertimbangan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) mengatakan bahwa sejak Februari 2019, pihaknya sudah mengingatkan pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, untuk menerbitkan rekomendasi dan persetujuan impor karena kurangnya pasokan pasti akan mengakibatkan kenaikan harga bawang putih.
Akan tetapi, peringatan itu tidak digubris sehingga terjadi kenaikan harga yang mencapai Rp100.000/kg di beberapa daerah.
“Kami pandang kurangnya pasokan bukan karena anomali pasar, atau harga di daerah asal, China mahal, atau ada masalah iklim. Hal ini terjadi karena hambatan rekomendasi impor produk hortikultura di Kementan dan surat persetujuan impor di Kemendag. Ada apa sebenarnya penundaan ini sampai empat bulan berturut-turut. Sampai saat ini juga pemerintah tidak memberikan jawaban,” ujarnya, Rabu (15/5/2019).
Pihaknya menduga terjadi rekayasa pasar yang mengarah pada tindakan kartel jilid kedua yang berhubungan dengan keterlambatan penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) serta penetapan harga jual sebesar Rp25.000 secara sepihak antara Kementerian Pertanian dan para importir atas nama operasi pasar.
Dugaan tindakan kartel ini menurutnya bertujuan untuk meningkatkan harga jual bawang putih yang sempat anjlok pada akhir 2018.
Menurutnya, harga Rp25.000/kg yang disepakati oleh pemerintah dan importir tidak memiliki dasar hukum maupun perhitungan nilai keekonomian yang jelas. Pasalnya, harga bawang putih dari China dan dikapalkan ke Indonesia sebesar Rp14.500 sehingga jika dibanderol dengan Rp25.000 dalam operasi pasar, menurutnya masih terlampau tinggi.
“Penetapan harga ini melanggar Undang-undang 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” ucapnya.
Sebelumnya, KPPU pernah memperkarakan 19 perusahaan dalam kasus kartel import bawang putih. Dalam perkara dengan nomor registrasi 05/KPPU-I/2013 ini, 19 terlapor terbukti melanggar Pasal 11, Pasal 19 huruf c, dan Pasal 24 UU No.5/1999 dan telah berkekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Juru bicara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih mengakui bahwa keterlambatan pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian dalam menerbitkan RIPH, menyebabkan tersendatnya suplai barang di pasar yang berujung pada kelangkaan dan harga yang meroket.
“Karena itu, KPUU mendorong pemerintah agar RPIH barang yang tidak memiliki pelaku usaha dalam negeri untuk dilindungi, semestinya tidak diperlukan. Kebijakan kuota itu maksudnya untuk melindungi,“ tuturnya.
Bawang putih, lanjutnya, tidak ada pelaku usaha dalam negeri yang menanam varietas bawang yang sejenis dengan bawang yang diimpor tersebut sehingga kebijakan rekomendasi impor tersebut dianggap tidak beralasan.
Bahkan, kebijakan impor yang menggunakan dasar kuota sebagaimana yang terjadi selama ini justru menyebabkan masyarakat menanggung harga yang sangat tinggi. Hal ini bisa dilihat dari jurang harga yang lebar antara harga bawang di negara asal dengan harga yang diterima konsumen di dalam negeri.
“Karena KPPU memiliki tugas melakukan advokasi kebijakan, kami mendorong agar pemerintah mengevaluasi kebijakan RPIH dan mendorong persetujuan impir langsung dari Kementerian Perdagangan,” ungkapnya.