Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan capaian prestasi di era pimpinan jilid IV menyusul adanya evaluasi dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan kajian serta kritik ICW dan Transparency International Indonesia (TII) terhadap kinerja KPK selama 4 tahun berjalan ini dinilai penting.
"Bagi kami, kajian seperti ini akan sangat membantu KPK untuk mengidentifikasi lebih jelas bagian-bagian mana yang perlu diperkuat dan yang masih belum maksimal dikerjakan KPK," kata Febri, Senin (13/5/2019).
Tak hanya itu, kritikan evaluasi juga sebagai bentuk pertanggungjawaban KPK terhadap publik. Lembaga antirasuah pun memamerkan hasil kinerja KPK pimpinan Agus Rahardjo dkk.
Sektor Penindakan
Febri mengatakan sejak pimpinan jilid IV dilantik pada Desember 2015 lalu, tren penindakan KPK selama kurun waktu 2015-2018 selalu mengalami kenaikan.
Berdasarkan catatan KPK, penyidikan pada tahun 2016 lalu yang berjumlah 99 meningkat menjadi 199 kasus di tahun 2018. Sementara itu, yang telah masuk tahap penuntutan dari 76 menjadi 151 kasus.
Kasus Korupsi Besar
Febri mengatakan di era pimpinan Agus Rahardjo cs terdapat kasus korupsi besar dan menjadi perhatian publik yang telah ditangani.
Kasus besar itu di antaranya BLBI yang menurutnya pertama kali ditingkatkan ke tahap penyidikan pada Maret 2017.
"KPK tidak berhenti pada 1 orang tersangka. Saat ini proses pengembangan perkara juga sedang berjalan di KPK," katanya.
Kasus lain yang juga sudah diproses adalah menjerat Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus KTP Elektronik dan memproses 6 korporasi yang korupsi (PT Duta Graha Indah atau PT NKE, PT Tuah Sejati, PT Nindya Karya (Persero) Tbk, PT Tradha, PT Merial Esa dan PT Palma Satu).
Sementara kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap korporasi, lanjut dia, pertama kali dijerat pada PT TRADHA sebagai pengembangan kasus Kebumen.
Kerugian Negara
Tak sampai disitu, Febri juga membeberkan sejumlah capaian lain terhadap kinerja KPK saat ini. Menjerat kasus korupsi dengan nilai kerugian triliunan adalah salah satunya.
Kasus korupsi yang berhasil diungkap adalah kasus pemberian keterangan lunas BLBI dengan kerugian negara Rp4,58 triliun, kasus pengadaan KTP elektronik dengan kerugian negara Rp2,3 triliun, dugaan korupsi terkait Izin Pertambangan di Kabuapten Konawe Utara senilai Rp2,7 triliun, dan dugaan korupsi terkait Izin Pertambangan di Kota Kabupaten Waringin Timur sebesar Rp5,8 triliun.
Penuntutan
KPK juga menanggapi kritikan ICW menyoal rendahnya tuntutan bagi terdakwa kasus korupsi.
Febri menjelaskan, terkait dengan tuntutan terhadap terdakwa KPK memandang hal tersebut tidak bisa dianalisis menggunakan pendekatan rata-rata. Hal itu lantaran adanya berbagai pertimbangan.
Pertama, bentuk korupsi yang berbeda memiliki ancaman pidana yang berbeda pula. Misalnya, kata dia, menurut Pasal 5 UU Tipikor pemberi suap diancam pidana maksimal 5 tahun. Sedangkan kasus suap merupakan kasus yang paling dominan ditangani KPK dalam 4 tahun berjalan ini.
"Sehingga tinggi rendah tuntutan dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun tentu tidak bisa dirata-ratakan dengan ancaman pidana 20 tahun atau seumur hidup," katanya.
Kedua, Jaksa Penuntut Umum KPK perlu memperhatikan sikap kooperatif atau tidaknya pelaku korupsi. Jika terdakwa kooperatif, lanjutnya, maka secara adil tuntutan tersebut tentu tidak dapat berikan maksimal sehingga hal ini bersifat kasuistis.
"Jika seorang terdakwa menjadi justice collaborator, maka tuntutan akan dijatuhkan lebih rendah. Hal ini juga bersifat kasuistis," katanya.
Masukan lain yang ditanggapi KPK adalah terkait catatan terhadap penyerapan anggaran. Febri menjelaskan, dalam penggunaan anggaran, KPK berupaya merencanakan penganggaran sebaik mungkin, dan menggunakan seefektif mungkin.
Menurutnya, KPK tidak memandang bahwa kemampuan menghabiskan anggaran sebagai indikator keberhasilan. Namun, menggunakan indikator efektifitas penggunaan anggaran dan pelaksanaan tugas dan wewenang.
"Karena APBN yang dialokasikan ke KPK harus digunakan dengan sebaik-baiknya dengan prinsip anggaran berbasis kinerja," jelasnya.
Penguatan SDM
Terkait hal ini, dia mengatakan bahwa pimpinan KPK telah mengambil kebijakan proses rotasi untuk memperkuat tenaga penyidik, sebagaimana yang diterapkan pertama kali tahun ini yang mengangkat 21 orang penyidik dari penyelidik.
"Selain itu, proses seleksi penyidik dari unsur Polri juga dilakukan. Pada bulan Mei 2019 ini sedang berlangsung, di mana sekitar 19 orang anggota Polri lulus smpai tahap seleksi kompetensi. Berikutnya akan mengikuti tes kesehatan dan wawancara," paparnya.
Di sisi lain, KPK juga menurutnya akan terus menambah SDM untuk mengisi unit-unit yang bekerja dan terkait di bidang penindakan seperti penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta unit terkait lainnya.
Program Pencegahan
Terakhir, untuk program pencegahan yang juga dikritisi, lanjut Febri, KPK membutuhkan komitmen yang sama kuatnya antara KPK dan pihak yang ingin diperbaiki serta political will yang kuat dari unsur pimpinan instansi masing-masing, baik pusat atau daerah.
KPK juga telah melakukan pencegahan melalui LHKPN dan sistem monitoring lain seperti Korsupgah. Adapun monitoring implementasi di instansi tahun 2018 mencapai 91,07%, sedangkan monitoring kepatuhan pelaporan LHKPN per 31 Maret 2019 adalah 75,05%.
"Sampai saat ini kepatuhan pelaporan LHKPN mencapai 85,44%," kata dia.
Febri mengatakan dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi, KPK sangat membutuhkan dukungan dan kerja sama sejumlah pihak baik.
Kajian-kajian yang menjadi evaluasi bagi KPK, menurutnya, merupakan salah satu hal penting sebagai bagian dari upaya memperkuat KPK dan meningkatkan akuntabilitas kinerja KPK.
"Kami tentu akan berbuat semaksimal mungkin dalam ikhtiar pemberantasan korupsi di Indonesia," katanya.