Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menginventarisir aset-aset milik WNI di luar negeri yang potensial untuk ditarik ke dalam negeri.
Hal ini dilakukan sebagai respons pasca Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menandatangani perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter.
"Ini langkah maju, karena ada indikasi aset-aset kita di sana," kata Jaksa Agung M. Prasetyo di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Prasetyo menjelaskan, proses identifikasi telah dilakukan. Hanya saja, karena tindak lanjut MLA sifatnya lintas sektoral, pemerintah perlu memastikan apakah aset-aset yang berada di Swiss terkait dengan tindak pidana atau tidak.
"Ini sedang dikerjakan, updatenya ada di Wakil Jaksa Agung," ungkapnya.
Perjanjian dengan Swiss ini merupakan perjanjian MLA yang kesepuluh yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sebelumnya, pemerintah juga telah melakukan kerja sama serupa dengan negara-negara Asean, India, Hong Kong, Australia, China, Korea Selatan, UEA dan Iran. Bagi Swiss, kerja sama ini merupakan yang ke 14 dengan negara lain di luar Eropa.
Adapun salah satu aset yang bisa dilacak pemerintah adalah aset-aset yang terkait dengan tindak pidana perpajakan.
Praktik kejahatan perpajakan baik dalam bentuk penggelapan pajak atau sebenarnya telah lama menjadi perhatian pemerintah. Apalagi gap perpajakan di Indonesia masih cukup besar. Jika merujuk data Ditjen Pajak rasio penerimaan yang dipungut Ditjen Pajak dengan perkiraan PDB Indonesia 2018 di angka Rp14.735,8 triliun, hanya 8,4% atau jika memasukan penerimaan di sektor lainnya baik cukai maupun PNBP SDA, paling besar rasionya hanya berada di angka 11-an%.
Dengan PDB yang cukup besar, angka ini mengindikasikan bahwa pemungutan pajak pemerintah belum optimal. Pasalnya, dana moneter internasional atau IMF sekalipun pernah mengeluarkan sebuah kajian, bahwa syarat bagi sebuah negara yang bisa melakukan pembangunan berkelanjutan rasio pajaknya minimal 16%.
Gap yang cukup besar ini salah satunya dipengaruhi oleh kepatuhan WP membayar pajak. Credit Suisseyang menerbitkan laporan Global Wealth Report 2018 menyebutkan sebanyak 742 orang Indonesia masuk dalam kategori high net worth individuals (HNWI) dengan kekayaan lebih dari US$50 juta. Jika angka itu diperinci, 424 orang memiliki kekayaan sebesar US$50juta – US$100 juta, 274 orang memiliki kekayaan sebanyak US$100 juta – US$500 juta, dan 44 orang memiliki kekayaan lebih dari US$500 juta.
Jika mengambil batas atas aset milik HNWI asal Indonesia dan dikalikan dengan nilai tukar di angka Rp14.000, total kekayaan 742 orang super kaya Indonesia berada di kisaran Rp988,4 triliun atau setara dengan 40,1% dari alokasi belanja negara dalam APBN 2019 senilai Rp2.461 triliun. Hanya saja, dengan total aset tersebut, kontribusi penerimaan pajak orang super kaya yang tercermin dari penerimaan pajak orang pribadi hanya 0,7%, berbeda dengan Singapura yang estimasi penerimaan PPh orang pribadi mencapai 11,4%.