Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat kerumitan pilpres dan pileg yang tinggi pada pemilu serentak 17 April memunculkan wacana untuk memisahkan kembali kedua pemilu tersebut. Demikian kesimpulan diskusi “Tenggelamnya Caleg di Tengah Hiruk Pikuk Pilpres” di Jakarta pada Kamis (28/3).
“Tingkat kesulitan memilih saja sudah menjadi masalah sendiri karena ada lima surat suara yang akan dicoblos, sedangkan sosialisasinya masih kurang,” ujar anggota DPR dari PDI Perjuangan, Effendi Simbolon.
Menurut dia, selain tingkat kerumitan pilpres dan pileg begitu tinggi, teknis penghitungan suara juga memakan waktu cukup lama.
Hal itu dikemukakannya berdasarkan pemantauannya di lapangan dan keluhan masyarakat dari hasil simulasi. Oleh karena itu, dia setuju kalau pemilu pemilihan anggota legislatif (pileg) dengan pemilu pemilihan presiden (pilpres) dipisahkan kembali.
“Bukannya harus, tapi seharusnya. Kita harus sadarlah. Menurut saya, bagi kita orang Indonesia, belum kebutuhanlah demokrasi model begini. Jujur sajalah,” ujarnya.
Bahkan dia menilai demokrasi yang terapkan sekarang ini seperti demokrasi model predator yang tidak jelas arahnya. “Jadi kita memilih demokrasi dibilang liberal juga nggak seperti ini,” kata Effendi.
Sedangkan Anggota DPR Fraksi Golkar Firman Subagyo menyebutkan fakta yang ditemuinya di lapangan bahwa pemilu serentak itu masih banyak kelemahannya. Masyarakat tidak melihat bahwa pileg dan pilpres ini sama-sama penting. Padahal keduanya sama-sama penting.
Pilpres menangani masalah pemerintahan dan pileg menangani persoalan di legislatif, yaitu membuat regulasi, membuat kebijakan anggaran dan fungsi pengawasan.
Kondisi tersebut, kata Firman, juga didukung oleh media, baik cetak, elektronik dan juga media sosial. Sehingga dalam pemilu yang secara serentak ini kecenderungannya pemilu legislatif sudah dianggap tidak penting.
“Padahal sebetulnya justru pemilu legislatif justru jauh lebih penting, karena pemilu legislatif akan memilih calon-calon anggota DPR yang akan menjadi regulasi yang menjadi dasar aturan hukum dalam tata kelola pemerintahan dan negara,” paparnya.
Firman bahkan menyebut UU Pemilu yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemilu serentak 2019 ini merupakan musibah.
“Undang-undang Pemilu yang sekarang ini musibah. Akibat tidak pernah disimulasikan sedemikian rupa, dampaknya sekarang ini nyaris yang namanya pileg tidak tersentuh oleh media, tidak tersentuh oleh masyarakat bahwa tujuan untuk anggota DPR juga untuk memilih calon yang berintegritas,” lanjutnya.
“Oleh karena itu, kesimpulan sementara bahwa pemilu seperti ini tidak boleh dipertahankan lagi. Ke depan harus kita ubah, agar lebih efektif dan efisien. Tujuannya kemarin pertama kali undang-undang diundangkan itu kan agar pemilu itu lebih efisien, jangan dilihat dari sisi anggarannya,” ujarnya.