Kabar24.com, JAKARTA — Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak setuju bila dokumen identitas selain kartu tanda penduduk berbasis elektronik (KTP-el) dibolehkan sebagai syarat untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum 2019.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arief Fakrulloh memastikan bahwa KTP-el merupakan identitas kependudukan yang paling terjamin ketunggalannya. Sebaliknya, dokumen identitas lain seperti kartu keluarga, akta kelahiran, atau buku nikah masih berpotensi dimiliki ganda oleh satu orang.
Alhasil, tambah Zudan, tidak tertutup kemungkinan seorang warga negara dapat memilih lebih dari sekali di tempat pemungutan suara (TPS) berbeda. Karena itu, penggunaan KTP-el lebih terjamin sebagai syarat memilih bagi penduduk yang namanya tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT).
"Ada 2,89 juta orang yang mempunyai peluang mencoblos lebih dari satu kali. Itu data ganda kala gunakan instrumen selain KTP-el," katanya dalam sidang uji materi UU Pemilu di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Zudan mengakui bahwa sampai saat ini terdapat 4,2 juta penduduk wajib KTP-el yang belum merekam kartu identitas tersebut. Namun, pemerintah telah mengupayakan langkah-langkah untuk memastikan mereka merekam KTP-el sebelum 17 April sehingga tidak kehilangan hak pilih pada Pemilu 2019.
Hari ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan dua perkara pengujian UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) atau berselang 10 hari setelah pemeriksaan pendahuluan. Dengan demikian, MK mengakomodasi permintaan pemohon agar memprioritaskan pemeriksaan dua gugatan tersebut.
Permohonan pertama, yang teregistrasi dalam Perkara No. 19/PUU-XVII/2019, diajukan oleh dua mahasiswa perantau di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang menggugat aturan mengenai alokasi surat suara cadangan sebanyak 2% jumlah DPT. Mereka juga meminta jangka waktu dan syarat mengurus daftar pemilih tambahan (DPTb) bisa dilonggarkan.
Gugatan tersebut beririsan dengan Perkara No. 20/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan oleh sejumlah aktivis demokrasi dan pemilih yang terancam kehilangan hak suara. Mereka meminta jangka waktu mengurus DPTb diperpanjang dari 30 hari menjadi 3 hari sebelum pemungutan suara.
Pemohon juga menuntut MK memberikan payung hukum terhadap TPS khusus DPTb dan penggunaan dokumen kependudukan selain KTP-el untuk memilih di TPS. Ada pula permintaan untuk menjamin hak memilih anggota legislatif bagi pemilih pindahan, hingga perpanjangan penghitungan suara di TPS sehari setelah pencoblosan.