Kabar24.com, JAKARTA — Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta lebih siap melindungi sistem Teknologi Informasi (TI) agar tidak dibobol oleh serangan para hacker atau peretas.
Menurut Peneliti the Institute for Digital Law and Society Awaludin Marwan, sistem informasi penyelenggara pemilu itu sangat rawan untuk diretas. Hal itu setidaknya tergambar di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, diretas hacker.
"Ternyata sistem keamanan Situng KPU cukup rawan, kalau KPU tidak memberikan perhatian dan KPU sibuk mengurus perpolitikan maka dilegitimasi pemilu di depan mata KPU. Orang bisa tidak percaya KPU," kata Awaludin kepada Bisnis, Selasa (19/3/2019).
Dampak lainnya, papar dia, akan mudah muncul pernyataan-pernyataan hoaks apabila pada hari penyelenggara Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 17 April 2019 nanti karena tidak adanya jaminan keamanan dari sistem IT KPU.
Dia menyebutkan aplikasi online dan sistem informasi yang dikembangkan KPU tidak selamanya punya asas yuridis yang eksplisit dan hanya Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) yang kokoh pengamanannya. Sidalih adalah sistem pendaftaran pemilih.
"Aplikasi ini adalah sistem informasi yang paling matang dan kokoh dimiliki KPU. Meskipun dalam pelaksanaannya, tidak jarang masih terdapat beberapa deviasi validitas data pemilih," kata dia.
Namun, lanjut Awaludin, dari penyimpanan, pengolahan data, administrasi dan kelengkapan legalnya relatif komplit. Selain Sidalih dan Situng, aplikasi KPU lain adalah Sidakam berupa laporan dana kampanye kandidat legislatif DPD, DPR, DPRD, dan Pilpres.
Ada Sitap berupa pengembangan portal kepemiluan tentang informasi tahapan dari awal, Silog untuk pengadaan dan logistik, Silon adalah sistem informasi pencalonan, Sipol adalah sistem informasi partai politik, Siparmas untuk sistem partisipasi masyarakat dan Situng adalah sistem untuk memenuhi kebutuhan aplikasi sitem infomrasi penghitungan suara.
Awaludin mengharapkan KPU merekrut para hacker tersebut sebagai cyber army KPU. Tugas mereka, paparnya, diminta mencari celah kelemahan situs KPU supaya saat pemilu tiba, seluruh sistem informasi kokoh dan aman.
"Menghukum para peretas bukan merupakan solusi, beberapa hacker yang mencoba menjebol sistem informasi KPU perlu dirangkul, dan diajak kerjasama. Umumnya black-hat-hacker ini berusia muda yang sangat potensia dan perlu diberikan pemahaman," kata dia.
Menurutnya, bahkan ada white hacker yang telah mengingatkan kelemahan sistem informasi penyelenggara pemilu tetapi dikesampingkan oleh pemerintah.
"Padahal di luar negeri mereka diberikan hadiah oleh Facebook dan Google tetapi di Indonesia potensi dikriminalisasi," ucapnya.
Solusi lain, KPU bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk penguatan aspek teknologi dan memanfaatkan kerjasama antar lembaga negara seperti Kementerian Informatika dan Telekomunikasi (Kominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Direktorat Siber Mabes Polri.