Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti bahasa menjelaskan adanya motif moral, sekaligus motif politis dalam keputusan Nahdlatul Ulama (NU) di Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019, Banjar, Jumat (1/3/2019), untuk menghindari penggunaan kata "kafir" dalam menyebut non-Muslim.
Peneliti Bahasa dan Sastra Indonesia di Pusat Kajian Budaya Pesisir Universitas Negeri Semarang (Unnes) Rahmat Petuguran menjelaskan dua dimensi wacana tersebut kepada Bisnis, Rabu (6/3/2019).
"Lazimnya, penggunaan bahasa memang punya tujuan jamak. Itu dapat diidentifikasi dengan mencermati aktor, konteks, dan proses intepretasi terhadapnya," ujar Rahmat.
Ia menyebut, bahasa adalah praktik sosial. Keputusan dan perilaku bahasa masyarakat berpotensi berdampak luas secara sosial.
"Pilihan kosakata bisa membentuk praktik sosial tertentu melalui proses pewacanaan. Sesuatu bisa dipersepsi baik atau buruk, bergantung proses pewacanaannya," jelas penulis buku Politik Bahasa Penguasa ini.
Dalam hal ini, memasuki agenda politik Pemilu 2019, beberapa pihak menyebut bahwa keputusan NU memperhalus kata "kafir" bertujuan politis semata.
NU diduga mengarahkan agar pihak dengan preferensi politik tertentu, sanggup mengeruk simpati dan dukungan dari kelompok yang kerap disebut minoritas tersebut.
Rahmat pun sepakat bahwa motif politis memang tak bisa dinafikan. Tetapi, Rahmat menjelaskan bahwa dalam kondisi tertentu, keputusan untuk menghindari kata "kafir" pun memiliki motif moral.
Rahmat menilai, motif moral yang hendak dibawa NU, yaitu hendak menutup kemungkinan-kemungkinan kekerasan akibat politisasi kata "kafir" ini.
"Dalam proses pewacanaan, motif moral lebih patut didahulukan daripada motif politik," ungkapnya.
Ia mencontohkan, dalam beberapa kejadian, kata "kafir" digunakan untuk melegitimasi kekerasan terhadap orang yang berbeda agama atau aliran. Misalnya, pembantaian terhadap penganut Ahmadiyah di Cikeusik didahului teriakan "kafir" yang membangkitkan kebencian.
"Konsep kafir sengaja digunakan untuk legitimasi, supaya kekerasan tampak normal," kata Rahmat.
Sebab itulah, Rahmat menyarankan adanya pengaturan ulang kata "kafir" untuk mengakhiri kontroversi di kalangan masyarakat. Di antaranya, menemparkan kata "kafir" secara terbatas, dan menggunakannya dengan cermat dalam komunikasi atau kajian keagamaan.
Sebab, Rahmat menilai kata "kafir" sebagai konsep agama memang tidak bisa diganti kata "non-Muslim". Kata tersebut telah begitu menyejarah dalam berbagai teks keagamaan dan ingatan publik.
Selain itu, Rahmat menyarankan jalan tengah untuk mengatasi kontroversi, dengan mengatur ruang penggunaan kata kafir, "yaitu pendidikan. Pendidikan adalah cara pengaturan terbaik," tutup Rahmat.