Bisnis.com, JAKARTA—Masih dalam suasana Imlek dan Cap Go Meh, Perkumpulan Wastra Indonesia menggelar jamuan makan dan minum teh bertajuk Untaian Merah Delima Nusantara-Mengenal Akulturasi Peranakan Tionghoa di Indonesia, pada Sabtu (23/2/2019) di Jakarta.
Rangkaian acara diisi dengan berbagai sesi seputar perjalanan budaya peranakan Tionghoa di Indonesia mulai dari akulturasi, pakaian, kuliner, teh, dan sebagainya.
Iwan Santoso, penulis dan jurnalis yang konsisten menulis mengenai kehidupan masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia menjadi pembicara yang menjelaskan mengenai akulturasi peranakan Nusantara.
Kebudayaaan peranakan Tionghoa terjadi di Indonesia dari proses asimilasi budaya. Iwan dengan konsisten mencari jejak-jejak budaya peranakan Tionghoa di Tanah Air.
Keberadaan masyarakat Tionghoa Peranakan dihasilkan dari perkawinan pendatang Tionghoa dengan perempuan suku asli Nusantara. Migrasi dari China sudah dilakukan bertahun-tahun lalu melalui perdagangan.
Persinggungan budaya sudah terjadi sejak lama, misalnya sosok Barong Landung yang mengabadikan perkawinan Raja Bali dengan perempuan Tionghoa di abad ke-11.
“Selain itu dalam garis keturunan orang Melayu di Belitung pasti ada peranakan Tionghoa, maupun sebaliknya garis keturunan peranakan Tionghoa di sana selalu ada Melayu,” kata Iwan.
Akulturasi lain, tercatatnya kehadiran masyarakat peranakan Tionghoa di Kintamani Bali, dengan nama-nama desa seperti Ping An, Song An, dan lain-lain. Di Bali juga banyak kelenteng, serta kesenian yang mirip dengan budaya peranakan.
Dalam rangkaian acara ini juga dibahas mengenai Instalasi Pakaian Nusantara oleh Didi Budiardjo. Selain itu Lily Wibisono dan Mona Lohanda menceritakan mengenai Kuliner Khas Peranakan.
Juga, aneka wastra peranakan nusantara khususnya batik yang dibuat menjadi tokwi dijelaskan oleh William Kwan Hwie Liong dan Lewa Pardomuan. Pada kesempatan itu, Bambang Laresolo memberikan penjelasan soal Chinese Tea.