Bisnis.com, JAKARTA – Aktivitas manufaktur Jepang terkontraksi pada Februari 2019, untuk pertama kalinya dalam 2,5 tahun.
Hal itu terjadi seiring dengan pabrik-pabrik di Negeri Sakura mengurangi produksi di tengah menyusutnya pesanan domestik dan ekspor. sebuah survei bisnis swasta menunjukkan pada hari Kamis.
Di sisi lain, keyakinan bisnis di Jepang juga memburuk untuk yang pertama kalinya dalam 6 tahun, seiring dengan meningkatnya dampak perang dagang AS-China terhadap ekonomi negara yang bergantung pada ekspor Asia dan manufaktur global.
Flash Markit/Nikkei Japan Manufacturing Purchasing Managers Index (PMI) turun ke level 48,5 pada Februari 2019 dari akhir Januari di level 50,3.
Sementara itu, komponen output dari indeks flash PMI jatuh ke 47,0 dari 54,4 pada posisi Januari. Hal ini menunjukkan kontraksi yang tercepat sejak Mei 2016.
Adapun, level 50 merupakan angka batas yang menandakan sebuah aktivitas manufaktur di sebuah negara mencatatkan ekspansi atau kontraksi.
Sementara itu, pesimistis pebisnis Jepang dinilai bukan hal yang mengejutkan karena adanya tantangan global yang berdampak kepada manufaktur Jepang.
“Tantangan global yang dihadapi pabrikan Jepang cukup besar seperti perlambatan China dan siklus perdagangan global yang kehilangan tenaga. Peluang Jepang untuk masuk masa resesi pada 2019 akan meningkat,” ujar Joe Hayes, ekonom di IHS Markit, seperti dikutip Reuters, Kamis (21/2/2019).
Adapun, total pesanan baru baik dari domestik maupun asing menunjukkan penurunan permintaan yang lebih tajam dari bulan sebelumnya. Meskipun pesanan ekspor berkontraksi dengan laju yang sedikit lebih lambat, hal itu tidak bisa langsung meredakan keraguan terhadap prospek permintaan luar negeri.
Perusahaan juga mengurangi pembelian bahan baku dan input lainnya untuk bulan kedua berjalan.
Sementara itu, survei PMI dirilis satu hari setelah data pemerintah menunjukkan ekspor Jepang turun terbesar dalam lebih dari 2 tahun pada Januari karena anjloknya pengiriman ke China.
Perdagangan global telah melambat selama setahun terakhir seiring dengan Washington dan Beijing yang menaikkan tarif barang satu sama lain. Hal itu pun akhirnya mengganggu rantai pasokan di seluruh dunia. Pada saat yang sama, aktivitas ekonomi semakin melemah di Cina dan Eropa.
Sejumlah ekonom juga berpendapat, jika Amerika Serikat dan China tidak cepat menyelesaikan selisih perdagangannya, Jepang berpotensi mengalami pelemahan lebih lanjut.