Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan kembali nama-nama calon legislatif (Caleg) mantan narapidana korupsi, Selasa (19/2/2019). Apabila sebelumnya ada 49 orang, kini bertambah 32 nama setelah ada laporan dan pencermatan kembali dari petugas di daerah.
Tetapi setelah temuan tersebut dipublikasi, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin berpendapat pengumuman tersebut tidak akan terlalu berdampak dari sisi pemilih, sebab mayoritas pemilih masih banyak yang memaklumi politik transaksional atau money politics.
"Pengumuman itu tidak akan terlalu berdampak bagi pemilih. Karena menurut survei, masyarakat tertentu masih memaklumi money politics," jelas Ujang kepada Bisnis, Kamis (21/2/2019).
"Selama masyarakat masih memaklumi money politics, maka pengumuman mantan napi menjadi caleg tidak akan berdampak pada pilihan pemilih," tambahnya.
Menurut Ujang, sikap maklum tersebut bisa jadi merupakan akibat dari sikap terlalu permisif terkait korupsi, atau pemilih tersebut justru memang menginginkan money politics. Buktinya, masih banyak partai-partai besar yang bertahan walaupun kadernya terbukti korup dan telah banyak diciduk KPK.
"Pemilih masih toleran terhadap money politics. Artinya masih toleran terhadap korupsi. Jadi, walaupun partai besar kader-kadernya banyak yang melakukan korupsi, tetap dipilih," jelas Ujang.
"Jadi mantan napi [koruptor] jadi caleg pun pasti akan dimaklumi. Apalagi dalam UU, mantan napi boleh menjadi caleg," ungkapnya.
Oleh sebab itu, bila dilihat dari sisi parpol pun, Pengajar sekaligus Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) ini berpendapat adanya pengumuman dari KPU tersebut tidak terlalu berdampak signifikan pada elektabilitas parpol.
Kendati demikian, Ujang masih berharap parpol dengan sedikit mantan napi koruptor atau bahkan nihil seperti PSI dan NasDem, dianggapnya bisa menjadi salah satu indikator pemilih untuk memprioritaskan partai tersebut.
Asalkan, didukung pula dengan strategi lain yang bisa mengambil hati masyarakat, sehingga sanggup mendongkrak elektabilitas.
"Sulit mencari partai yang bersih. Jika ada partai yang bersih, dan itu betul-betul bersih, maka akan banyak pemilih yang mendukung. Bisa saja, preferensi pemilih ditentukan oleh bersih atau tidaknya partai politik," ungkapnya.
"NasDem punya kans untuk lolos ke senayan. Dengan menerjunkan banyak artis dan kepala daerah yang dimiliki NasDem, bukan mustahil jika NasDem lolos lagi ke Senayan. Namun bagi PSI agak sulit. Butuh kerja keras lagi untuk lolos ke Senayan," tutup Ujang.
Sedikit berbeda dari pendapat Ujang, peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA Adjie Alfaraby percaya publikasi caleg koruptor akan merugikan imej partai dan menekan elektabilitasnya.
Tetapi, Adjie menggarisbawahi sebenarnya dirinya menilai bukan ranah KPU untuk mengumumkan status mantan napi korupsi tersebut. Harusnya menjadi ranah publik dan partai yang berkompetisi untuk mengungkap trackrecord masing-masing caleg-nya.
"Jika dipublikasi oleh KPU tentunya akan lebih masif publik yang tahu, dan merugikan imej partai yang ujungnya bisa menghambat elektoral partai tersebut," jelasnya.
"Kasus partai Demokrat telah menunjukkan bukti empiris, efek kasus hukum terhadap elektoral partai. Demokrat yang perkasa di 2009, rontok di 2014, karena kasus korupsi," jelasnya.
Politik Uang Marak, Pengumuman Caleg Eks-Koruptor Tidak Berdampak
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin berpendapat pengumuman caleg mantan koruptor tidak akan terlalu berdampak dari sisi pemilih, sebab mayoritas pemilih masih banyak yang memaklumi politik transaksional atau money politics.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : M. Syahran W. Lubis
Topik
Konten Premium