Bisnis.com, JAKARTA -- Pada Minggu (17/2/2019), digelar debat kedua antara para kandidat calon presiden peserta Pilpres 2019 dengan mengambil topik energi, pangan, infrastruktur, Sumber Daya Alam, dan lingkungan hidup. Namun, ternyata banyak yang luput dari paparan Joko Widodo maupun Prabowo Subianto.
Misalnya, ketika membicarakan isu pangan. Seperti diduga banyak orang, Prabowo langsung "menyerang" Jokowi dengan amunisi kebijakan impor pemerintah. Dia menagih janji petahana saat Pilpres 2014 yang menyatakan tak akan mengimpor komoditas pangan jika terpilih menjadi presiden.
Prabowo juga mempertanyakan kebijakan impor pemerintah di tengah tingginya produksi dalam negeri. Dia beranggapan bahwa daripada digunakan untuk impor, lebih baik kas negara disimpan guna menambah devisa atau disalurkan kepada masyarakat.
Jokowi menanggapi pertanyaan itu dengan menyebutkan data produksi jagung dan beras selama 2014-2018. Calon presiden (capres) nomor urut 01 membanggakan naiknya produksi kedua komoditas itu selama dirinya menjabat presiden.
Produksi beras bahkan disebut surplus hampir 3 juta ton pada 2018. Jokowi mengatakan meski produksi berlebih, impor tetap dilakukan untuk menjaga stabilitas harga.
Dia menyatakan stok beras harus cukup untuk menghadapi kemungkinan bencana alam, gagal panen, atau serangan hama. Jokowi juga menuturkan pemerintah tak bisa semena-mena menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap beras karena stabilitas harga di konsumen harus dijaga.
Pekerja mengemas jagung impor yang akan didistribusikan ke peternak di Gudang Bulog, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (24/1/2019)./ANTARA-Zabur Karuru
Saat membicarakan persoalan pangan itu, Jokowi dan Prabowo alpa membahas pentingnya memangkas jalur distribusi yang panjang dan kerap membuat harga pangan naik.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohamad Faisal menerangkan jalur distribusi sebetulnya banyak menimbulkan persoalan, apalagi terkait naik turunnya harga komoditas pangan di pasar.
"Masalahnya juga banyak di distribusi rantai pasok pangan yang panjang, lalu banyak praktik penimbunan, mafia, dan sebagainya. Ini yang tidak dibahas dan aspek distribusi dalam hal peran Bulog kemarin, enggak dibahas sama sekali. Padahal, penting sekali peran Bulog sebagai penyangga pangan," paparnya kepada Bisnis, Senin (18/2).
CORE mengungkapkan Jokowi dan Prabowo mestinya membahas persoalan distribusi, terlebih saat ini penyaluran pangan juga bisa dilakukan pihak swasta. Pengawasan terhadap distribusi oleh swasta dan Bulog harusnya menjadi salah satu bahan perdebatan kedua capres.
"Bagaimana sekarang memonitor pencadangan pangan yang tidak hanya di Bulog? Itu tidak dibahas kemarin," lanjut Faisal.
Secara spesifik, kekurangan Prabowo dalam membahas persoalan pangan juga menjadi perhatian. Prabowo dipandang kurang banyak menyampaikan detail dari konsep-konsep yang disampaikan.
Meski CORE memuji konsep Prabowo untuk mengatasi permasalahan pangan dari hulu ke hilir, tapi Ketua Umum Partai Gerindra itu disebut kurang mengelaborasi konsep ke tataran teknis.
"Meski capres memang tidak perlu tahu sampai teknis, tapi paling tidak bisa memberi contoh seperti yang dilakukan Pak Jokowi," tambahnya.
Klaim Bebas Konflik
Dalam pembahasan infrastruktur pun ada sejumlah kekeliruan yang dilakukan para kandidat.
Ketika diminta bicara soal infrastruktur, Jokowi langsung memaparkan semua capaian pembangunan yang dilakukan semasa pemerintahannya. Dia mengungkit pembangunan ratusan ribu kilometer (km) jalan di desa, belasan bandara dan pelabuhan, serta puluhan bendungan di sejumlah daerah.
Pemaparan Jokowi mengenai detail infrastruktur yang sudah dibangun sejak 2014-2019 hampir tak bercela. Kecuali, saat dia mengklaim tak ada konflik akibat pembebasan lahan dalam proyek-proyek infrastruktur yang berjalan.
Forum Komunikasi Penggarap Lahan Pesisir (FKPLP) menuntut ganti rugi Bandara Kulonprogo di DI Yogyakarta, Kamis (15/9/2018)./ANTARA-Hendra Nurdiyansyah
"Selama 4,5 tahun ini hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan," ucap Jokowi.
Klaim itu dapat dikatakan keliru jika mengacu pada catatan akhir 2018 yang dikeluarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Data KPA menunjukkan dari 410 konflik agraria yang terjadi, 16 di antaranya disebabkan pembangunan infrastruktur.
Kekeliruan lain dilakukan Prabowo. Dia menyebut banyak proyek infrastruktur di era pemerintahan Jokowi yang dilakukan tanpa rencana.
Padahal, setiap proyek pasti memiliki perencanaan teknis yang kerap disebut Detail Engineering Design (DED).
Menurut Faisal, dalam membahas infrastruktur kedua capres memiliki kelemahan yang sama. Mereka dianggap tidak membahas persoalan itu secara komprehensif.
"Kemarin itu memang isunya sektoral tapi mestinya dilihat dari kacamata yang lebih strategis dan besar, bahwa isu ini interconnected. Pandangan yang strategis dan komprehensifnya kurang, sangat parsial," imbuhnya.
CORE menganggap mestinya ada perdebatan mengenai cara agar infrastruktur yang sudah dibangun bisa mendorong perekonomian masyarakat daerah. Namun, hal itu tidak ditemukan dalam debat putaran kedua.
Prabowo sebenarnya sempat membahas kontribusi pembangunan infrastruktur yang masif dengan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, dia menggunakan hal itu sebagai bahan pertanyaan ke Jokowi, alih-alih memberi solusi.
"Kalau dipelajari dalam laporan Bank Dunia yang terakhir, justru mengatakan bahwa hampir tidak kelihatan [dampak pembangunan infrastruktur] kepada pertumbuhan ekonomi kita secara riil. Jadi, kita harus berpikir jernih bahwa infrastruktur itu seharusnya bisa menambah kekuatan ekonomi," tutur Prabowo.
Dia juga sempat menyindir pembangunan infrastruktur periode 2014-2018 yang dianggap kurang efisien. Prabowo memberi contoh tingginya pembangunan sejumlah infrastruktur seperti Light Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid Transit (MRT) dibandingkan proyek yang sama di negara tetangga.
Efisiensi
Berdasarkan data yang dirangkum Kementerian Perhubungan (Kemenhub), pembangunan LRT Jabodebek memakan biaya Rp673 miliar per km, sedangkan LRT Jakarta Rp1,08 triliun per km. Panjang kedua proyek LRT itu masing-masing 44,4 km dan 5,8 km.
Untuk LRT Palembang, biaya yang dibutuhkan adalah Rp484 miliar per km, untuk panjang lintasan 23,4 km.
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Light Rail Transit ( LRT) di Jakarta, Senin (14/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Adapun dalam proyek pembangunan LRT di Manila, Filipina yang memiliki panjang 23 km, biaya yang dibutuhkan adalah Rp904 miliar per km. Pembangunan LRT jalur perpanjangan Kelana Jaya Line sepanjang 34,7 km di Malaysia berharga Rp817 miliar per km.
Biaya untuk membangun LRT di Lahore, Pakistan mencapai Rp797 miliar per km untuk panjang 27,1 km. Kemudian, pembangunan LRT Taipei Danhan di Taiwan menelan biaya Rp413 miliar per km untuk panjang total 9,7 km.
Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia (MII) Harun Alrasyid Lubis menilai pembangunan sejumlah proyek infrastruktur di masa pemerintahan Jokowi memang kurang efisien. Dalam konteks LRT, inefisiensi diduga muncul akibat tidak adanya tender untuk menentukan pelaksana proyek.
“Yang lain-lain kalau secara engineering mahal itu relatif, karena tergantung kondisi tanah. Makin jelek kondisi tanah itu biasanya makin mahal, pondasinya makin dalam,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (18/2).
Menurut Harun, harusnya pemerintah tetap melakukan tender proyek infrastruktur di masa depan agar efisiensi bisa terwujud. Pemerintah juga disebutnya harus serius menjalani tahap perencanaan, kajian kelayakan (appraisal), dan penentuan sumber pembiayaan proyek.
MII menganggap selama ini pemerintah tidak serius menjalani tahap perencanaan, appraisal, dan penentuan sumber dana proyek. Alhasil, perencanaan dan studi kelayakan suatu proyek tak jarang dipertanyakan.
“Kajian appraisal-nya kurang holistik. Jadi karena terburu-buru banyak yang dilangkahi Standar Operasi Prosedur (SOP) pembuatannya, termasuk juga barangkali konsultasi dengan masyarakat, itu kadang dilangkahi,” tuturnya.