Bisnis.com, JAKARTA - Karier politik Putri Thailand, Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Barnavadi hanya bertahan selama 3 hari. Jauh lebih singkat dibandingkan dengan ekspektasi para pendukungnya yang kepalang senang seusai mendengar Sang Putri bakal maju sebagai calon perdana menteri.
Bukan usaha lawan politik yang mengakibatkan batalnya pencalonan Ubolratana atau statusnya sebagai Putri karena ia telah melepas gelar itu puluhan tahun lalu. Namun titah sang adik, yang tak lama lagi bakal dilantik sebagai rajalah penyebab pembatalan itu.
"Meski Ubolratana telah melepaskan gelarnya berdasarkan hukum kerajaan dengan menandatangani surat, dia masih memegang status dan posisi sebagai bagian dari dinasti Chakri," ucap Raja Maha Vajiralongkorn Jumat malam (8/2/2019), selang beberapa jam setelah Partai Thai Raksa Chart datang ke gedung Komisi Pemilihan untuk mengantar berkas pencalonan Ubolratana.
"Keterlibatan anggota keluarga kerajaan dalam dalam politik, melalui cara apapun, bertentangan dengan tradisi, adat, dan budaya negara ini dan saya anggap sebagai sesuatu yang tak pantas," sambungnya.
Kerajaan Thailand menganut sistem monarki konstitusional sejak negara itu mengalami reformasi pada 1932. Raja Thailand, sosok agung yang dianggap perpanjangan tangan Dewa itu kini dianggap simbol negara. Dia tak memiliki kekuasaan politik. Namun titahnya acap kali dianggap absolut.
Semua tak lepas dari peraturan perundang-undangan Thailand yang begitu rigid menegaskan posisi raja. Siapa pun bisa dihukum berat jika kedapatan tak menghormati raja atau melakukan pembangkangan.
Baca Juga
Partai Thai Raksa Chart pun tak diam setelah Raja Vajiralongkorn mengeluarkan perintah. Keesokan paginya, partai besutan para loyalis mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra itu pun mengeluarkan pembatalan pencalonan Putri Ubolratana.
(Raja Vajiralongkorn/antaranews)
"Thai Raksa Chart akan mematuhi perintah kerajaan," tulis partai tersebut dalam sebuah pesan untuk wartawan sebagaimana dilansir Channel News Asia, Sabtu (9/2/2019).
Keputusan itu dipertegas pula oleh Komisi Pemilihan Thailand yang secara resmi pada Senin (11/2/2019) kemarin mengumumkan 45 kandidat partai yang dicalonkan partai peserta pemilu. Tak ada nama Putri Ubolratana dalam daftar tersebut.
Maka usailah langkah politis Ubolratana. Usaha para loyalis keluarga Shinawatra untuk menjinakkan tuduhan anti-monarki pun bakal semakin berat.
Bayang-Bayang Militer dalam Politik Thailand
Tak hanya pencalonan Ubolratana yang mengejutkan publik. Fakta bahwa ia diusung oleh sekelompok populis pendukung Thaksin juga diperkirakan bakal memengaruhi dinamika politik Thailand.
Meski ia dipastikan takkan berlaga pada pemilihan umum 24 Maret mendatang, ambisi politiknya dan pertaruhan kelompok populis yang mengusungnya tetap membekas di benak para pemilih.
Pemilu Maret nanti bakal menjadi yang pertama sejak kudeta penggulingan Yingluck Shinawatra terjadi 2014 lalu. Sebagaimana peta perpolitikan saat ini terbentuk sejak kudeta 2006, bisa dipastikan pemilu nanti bakal menjadi ajang persaingan antara aliansi pendukung Thaksin dan kelompok kelas menengah yang sangat loyal kepada kerajaan.
Gelombang aksi itu bermula pada 2005 ketika kelompok kelas menengah dari daerah urban menolak pemerintahan Thaksin. Mereka menyerukan protes anti-Thaksin dan menyuarakan perlindungan terhadap nilai-nilai monarki.
Para demonstran mengenakan pakaian berwarna kuning, simbol warna yang berkaitan erat dengan mendiang Raja Bhumibol Adulyadej, sebagai bentuk penghormatan pada kerajaan dan budaya Thailand. Mereka menyatakan pemerintahan Thaksin mengancam kerajaan karena penuh korupsi dan terdapat usaha memperkuat diri sendiri.
Militer kemudian mengkudeta Thaksin pada tahun 2006 dan, sejak itu, politik Thailand terjebak dalam siklus kemenangan para sekutu Thaksin yang kemudian digulingkan dari kekuasaan melalui keputusan pengadilan atau kudeta. Yang terakhir terjadi pada 2014, ketika tentara kembali menggulingkan adik perempuan Thaksin, Yingluck.
"Apa yang terjadi pada politik Thailand saat ini adalah hasil dari interaksi [political interplay] para pemangku kepentingan di sana," kata peneliti Pusat Studi Asean Universitas Sebelas Maret Surakarta, Septyanto Galan Prakoso, Selasa (12/2/2019).
Septanyo menjelaskan interaksi tersebut terjadi antara pihak kerajaan, militer, dan kelompok pengusaha yang saat ini diwakili oleh para pendukung Thaksin Shinawatra. Masing-masing pihak memiliki kepentingan dan kerap terlibat terlibat intervensi untuk memengaruhi satu-sama lain.
"Hal ini bisa ditelusuri ketika Thailand beralih dari monarki absolut ke monarki konstitusional. Saat itu militer mendapatan dorongan dari golongan anti-monarki absolut sehingga Raja Prajadhipok pun tak lagi menjadi pemimpin mutlak," sambung Septyanto.
Adapun pencalonan Putri Ubolratana yang segera dianulir oleh Raja Vajiralongkorn, menurut Septyanto, merupakan langkah politis terselubung untuk melanggengkan kekuasaan rezim militer yang dipimpin Prayut Chan-o-cha.
"Putri Ubolratana ini bisa menjadi senjata bagi simpatisan Thaksin untuk melawan Raja yang baru karena masyarakat belum mempercayainya. Tetapi ia segera mengambil langkah berani dengan menyatakan Ubolratana masih anggota keluarga, bisa saja banyak yang tak puas dengan pernyataan itu," ujarnya.
"Dapat dikatakan bahwa penerapan demokrasi yang berlangsung di Thailand masih jauh dari kata ideal," tambah Septyanto.
Septyanto memprediksi hasil pemilihan umum mendatang akan sulit diprediksi. Meski calon dari militer, Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha kembali mencalonkan diri. Septyanto mengungkapkan faktor kepemimpinan raja baru bakal turut memengaruhi dan membuka peluang tersendiri bagi Abhisit Vejjajiva, mantan perdana menteri yang kembali maju sebagai calon Partai Demokrat Thailand.