Bisnis.com, JAKARTA - Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, Gubernur Bangkok Aswin Kwanmuang, dan Dewan Lingkungan Nasional dipanggil Pengadilan Administrasi Pusat pada Kamis (7/2/2019). Mereka diminta hadir untuk memberi keterangan terkait krisis polusi udara yang melanda Bangkok.
Polusi udara disertai kabut pekat yang mengakibatkan standar udara menurun drastis menyelimuti Bangkok dalam dua bulan terakhir. Kondisi tersebut memicu penutupan ratusan instansi pendidikan dan memengaruhi aktivitas penduduk setempat.
Pengadilan diperkirakan bakal menanyai tanggapan Prayut, Aswin, dan anggota dewan terkait laporan yang diajukan oleh Stop Global Warming Association (SGWA) dan 41 warga Bangkok.
Para pelapor menuduh para pejabat itu telah lalai dalam menangani masalah polusi udara di Bangkok. Mereka dinilai telah gagal menjalankan amanat UU Lingkungan dan UU Kesehata Masyarat untuk mengendalikan tingkat PM2,5.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa kelalaian pejabat dalam menangani krisis memaksa banyak sekolah dan bisnis tutup untuk sementara. Sejumlah penduduk juga mengalami gangguan pernapasan dan maslaah polusi ini turut mengganggu ekonomi Thailand.
"Kami akan menyiapkan bukti kelalaian dan akan mendesak pengadilan untuk memerintahkan ketiganya agar segera mengambil langkah-langkah untuk menangani sumber polusi udara," kata presiden SGWA Srisuwan Janya sebagaimana dikutip The Straits Times.
Sementara itu, Kamar Dagang Thailand mengeluarkan peringatan jika krisis polusi terus berlanjut, kerugian ekonomi yang bakal diderita Thailand dalam sebulan bisa mencapai 10-15 miliar baht (Rp4,4 triliun-Rp6,7 triliun).
Perkiraan kerugian itu dihitung dari uang yang harus dikeluarkan penduduk untuk tagihan kesehatan, pembelian masker N95, serta berkurangnya pendapatan pariwisata.
Berdasarkan perhitungan Kamar Dagang Thailand, setiap warga setidaknya menggelontorkan dana 594 baht (Rp265 ribu) selama sebulan untuk membeli masker dan alat perlindungan pernapasan lainnya.
Dengan masyarakat yang semakin sadar akan bahaya PM2,5, pengeluaran mereka diperkirakan bakal melonjak menjadi 802 baht per bulan (Rp358 ribu) jika krisis polusi udara terus berlanjut selama enam bulan.
Organisasi Keseharan Dunia (WHO) menggambarkan PM2,5 sebagai zat yang bersifat karsinogenik, artinya, ia bisa mengendap dan merusak sistem pernapasan. PM2.5 adalah campuran zat cair dan partikel padat yang mencakup debu, jelaga, dan asap. Ia adalah polutan utama dalam pengukuran Indeks Kualitas Udara (AQI).