Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) menyatakan penolakan permohonan justice collaborator terhadap terdakwa kasus proyek PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih oleh jaksa penuntut umum KPK bukan berarti tidak menghargai sikap kooperatifnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan penghargaan terhadap terdakwa yang mau bekerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap suatu kasus bukan hanya dalam bentuk pengabulan permohonan justice collaborator, melainkan ada bentuk lain.
Bentuk lain tersebut, ujar Febri, misalnya berupa tuntutan hukuman lebih rendah dari ancaman maksimal pidana sehingga bisa menjadi faktor pertimbangan meringankan terdakwa.
"Kalau dilihat pasal yang dikenakan terhadap Eni Saragih itu ancaman pidananya seumur hidup atau maksimal 20 tahun. Ketika dituntut 8 tahun, itu artinya kurang dari setengah tuntutan maksimal tuntutan-tuntutan yang lebih ringan. Ini juga sebagai bentuk penghargaan terhadap sikap kooperatif," kata Febri, Rabu (6/2/2019) malam.
KPK memandang selama ini politisi Golkar tersebut memang bersikap kooperatif. Termasuk dengan mengembalikan uang hasil suap dan gratifikasinya.
Namun, untuk mengabulkan seorang terdakwa menjadi justice collaborator memang tidak mudah. Salah satu alasannya, ujar Febri, terdakwa bukanlah pelaku utama. Sementara Eni, diyakini sebagai pelaku utama dalam kasus tersebut.
"Maka tentu saja kami tidak bisa mengabulkan JC itu," ujar Febri.
Jaksa penuntut umum KPK menolak permohonan justice collaborator atau saksi yang bekerja sama dengan penegak hukum terhadap mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1.
Dalam sidang tuntutan terdakwa Eni, jaksa menilai bahwa Eni sebagai pelaku utama dalam perkara dengan menerima sejumlah uang suap dan gratifikasi.
"Berdasarkan pertimbangan di atas dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, maka permohonan [justice collaborator] tidak dapat dikabulkan," ujar jaksa KPK Lie Putra Setyawan saat membacakan surat tuntutan Eni di Pengadilan Tipikor, Rabu (6/2/2019).
Surat Edaran Mahkamah Agung No.4/2011 tersebut menyatakan bahwa syarat untuk menjadi justice collaborator adalah mengakui kejahatan, bukan pelaku utama, bersedia membantu membongkar kasus, serta bersedia mengembalikan aset-aset hasil dari korupsi yang dilakukannya.
Kendati demikian, jaksa menilai terdakwa Eni cukup kooperatif dalam menjalani proses persidangan dan membantu penuntut umum dalam hal perkara ini.
Namun, lanjut jaksa KPK, terdakwa selaku anggota Komisi VII DPR merupakan pelaku utama dalam perkara ini yaitu subjek hukum yang telah menerima uang secara bertahap.
Eni Maulani Saragih pun dituntut delapan tahun penjara oleh jaksa penuntut umum KPK terkait kasus PLTU Riau-1. Eni dianggap terbukti menerima suap Rp4,750 miliar dari pengusaha sekaligus pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo.
Selain itu, jaksa menyakini Eni bersalah menerima gratifikasi sebesar Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura. Uang itu diterima Eni dari sejumlah direktur dan pemilik perusahaan di bidang minyak dan gas.
Menurut jaksa, Eni secara sah dan terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.