Bisnis.com, JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengusulkan pembuatan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) untuk menindaklanjuti Peraturan Presiden tentang reforma agraria.
Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di dalam Kawasan Hutan (PPTKH), Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria (RA) dan Inpres 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Kebun Kelapa Sawit (moratorium kebun sawit).
Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Bowo menuturkan bahwa sejak April 2017, Presiden Joko Widodo sudah mencanangkan suatu kebijakan yang disebut sebagai kebijakan pemerataan ekonomi, atau disebut dengan kebijakan ekonomi berkeadilan yang didasarkan pada tiga pilar utama.
“Tiga pilar tersebut terdiri atas kepemilikan lahan, kesempatan usaha, dan keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh masyarakat untuk bisa berkontrbusi dalam pembangunan ekonomi nasional,” papar Prabianto dalam acara Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2018 KPA di Jakarta, Kamis (3/1).
Dalam Perpres tersebut, ditandaskan harus ada pembentukan Peraturan Menteri yang terkait dengan RA, yang kemungkinan besar akan kembai dipegang oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN).
“Kita tidak sepakat ada Permen, karena kalau itu diserahkan lagi penyelesaian konfliknya ke Kemeterian Agraria dan Tata Ruang, itu hasilnya akan sama seperti kemarin, konflik agraria itu akan mandeg,” ungkap Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA.
Baca Juga
Dari pihak KPA mengusulkan untuk membentuk Permenko karena fungsi koordinatif dari Kementerian Perekonomian dianggap bisa digunakan untuk mengkoordinasikan kebijakan yang bersifat lintas sektor tersebut.
“Meskipun ada kekhawatiran bahwa Kemenko tidak cukup otoritatif untuk menjadi leading sector dari penyelesaian konflik, karena sudah banyak satuan tugas [Satgas] untuk konflik itu. Di semua Kementerian itu sudah ada satgas, tapi tidak ada yang selesai, karena yang lama belum diselesaikan sudah ada masalah yang baru,” imbuh Dewi.
Permenko ini, menurut Dewi penting segera diterbitkan karena sebagai bagian dari kelanjutan Perpres terkait dengan RA.
Selain itu, ke depan, untuk membantu mengurai konflik agraria, KPA menambahkan perlunya dilakukan corrective action yang salah satunya melakukan moratorium, tidak hanya dari sektor perkebunan sawit tapi juga dalam seluruh sektor.
“Dari zaman pemerintahan SBY sampai sekarang, sektor perkebunan selalu menjadi penyumbang konflik agrarian tertinggi. Kemudian, perluasan tanah sektor perkebunan itu makin meluas dan banyak monopoli,” tambahnya.
Solusi yang diajukan KPA untuk masa pemerintahan baru menuju pergantian presiden juga harus ada penataan ulang struktur. Tanah yang tidak sesuai dengan pokok agraria, seperti penguasaan tanah yang berlebihan itu tidak diperkenankan.
Dari masalah tersebut, menurut Dewi, banyak perusahaan dan korporasi dari swasta, seperti properti yang menguasai tanah dalam jumlah yang sangat luas.
“Inilah yang menjadi pekerjaan rumah [PR] untuk dibentuk dalam undang-undang proagraria selanjutnya, harus ada pembatasan terhadap hak guna usaha [HGU] swasta dan pembatasan maksimum terhadap konsesi-konsesi skala besar,” lanjut Dewi.
Nihilnya pembatasan HGU tersebut dinilai Dewi menjadi ruang mengguritanya monopoli tanah oleh swasta, termasuk pencadangan tanah. Padahal menurut Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, secara fisik ditelantarkan oleh perusahaan maka tanah itu harus ditertibkan dan menjadi obyek reforma agraria.
“Nah ini yang lambat, dalam skala realisasi redistribusi tanah. Dalam catatan kami yang langsung bersinggungan dengan konnflik agrarian laten, baru ada empat lokasi dari 462 lokasi sepanjang empat tahun pemerintahan Jokowi dari seluruh yang diusulkan masyarakat reforma agrarian dari bawah, di Garut, Batang, Minahasa, dan Ciamis.”