Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2018 mencatat momen-momen penting diplomasi politik antara Korea Utara dan Amerika Serikat. Diplomasi itu berlangsung baik dalam bentuk diplomasi langsung Amerika Serikat - Korut, maupun diplomasi yang dilalu melalui perantara dalam hal ini China dan Korea Selatan.
Seperti sama-sama diketahui, China adalah pintu besar untuk bisa masuk ke Korea Utara. China bisa dikatakan sebagai mitra utama atau barangkali patron bagi Kim Jong-Un dalam menjalankan pemerintahan di Korea Utara. China juga menjadi benteng penangkal yang kokoh dari berbagai peluang penyerangan terhadap Korut.
Di sisi lain, Korea Selatan menjadi jembatan terbaik bagi Korea Utara untuk meniti diplomasi menuju Gedung Putih. Hal itu sama halnya dengan potensi Korea Selatan untuk menjadi perpanjangan kepentingan AS dan saluran ancaman dan tekanan Washington di kawasan semenanjung Korea. Untuk diketahui hingga saat ini kawasan semenanjung itu belum sungguh-sungguh damai dan hanya berada di bawah kesepakatan gencatan senjata yang berumur panjang.
Setahun lalu, diplomasi politik Amerika Serikat dan Korea Utara lebih banyak diwarnai pendekatan approach-approach (saling mendekat) daripada pendekatan avoidance-avoidance (saling menghindar) dan tentu disertai ancaman. Keberhasilan Korea Utara melakukan uji coba peluru kendali jarak jauh justru menjadi pendorong diplomasi AS - Korut yang saling mendekat.
Istilah Si vis pacem, para bellum (jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang) seakan menemukan wujudnya yang nyata dalam diplomasi Korut-AS belakangan ini. Pesan yang dikomunikasi Jong-un cukup jelas, negeri itu tak takut untuk berperang dan siap menjalani perdamaian.
Maka tidak mengherankan jika dalam pidato menyambut Tahun Baru 2019, Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengatakan, Selasa (1/1/2019), bahwa dirinya siap bertemu kembali kapan pun dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mewujudkan tujuan bersama menyangkut penghapusan senjata nuklir di Semenanjung Korea.
Baca Juga
Namun, ini tekanan yang disampaikan Jong-un, Korut mungkin akan mengambil langkah lain jika AS terus menerapkan sanksi dan tekanan terhadap negaranya.
Dalam pidato menyambut Tahun Baru yang disiarkan televisi secara nasional, Jong-un mengatakan denuklirisasi merupakan "kemauannya yang tegas" dan Korea Utara telah "menyatakan di dalam dan luar negeri bahwa kita tidak akan lagi membuat dan menguji coba senjata nuklir ataupun menggunakan dan mengembangkannya."
Ia menambahkan bahwa Pyongyang sudah "mengambil berbagai langkah nyata" dan jika Washington menanggapi dengan "langkah-langkah yang bisa dipercaya serta menyesuaikannya dengan tindakan nyata .. hubungan bilateral akan cepat berkembang dengan baik."
"Saya selalu siap duduk bersama dengan presiden AS kapan pun nanti, dan akan bekerja keras untuk membuat hasil yang diterima oleh masyarakat internasional tanpa ada kegagalan," ujarnya.
Di sisi lain, Kim Jong-un tak mau menyembunyikan kekerasan sikapnya. Ia memperingatkan bahwa Korea Utara kemungkinan akan "terpaksa mempertimbangkan langkah baru" melindungi kedaulatannya jika Amerika Serikat "berupaya memaksakan kehendak secara sepihak terhadap kita ... dan tidak mengubah sikap soal tekanan dan sanksi-sanksi yang diterapkannya."
Tidak jelas apa yang dimaksud Kim Jong-un dengan "langkah baru," namun pernyataannya kemungkinan meningkatkan keraguan soal apakah Korea Utara berniat menghentikan program senjata nuklir, yang telah sekian lama dianggapnya sebagai program sangat penting bagi keamanan negara.
Ketika menanggapi kabar tersebut, Trump menulis di Twitter, "Saya juga menantikan pertemuan dengan Ketua Kim, yang dengan baik merealisasikan bahwa Korea Utara memiliki potensi ekonomi besar!"
Publik dunia tentu tak lupa bahwa dalam pertemuan bersejarah mereka di Singapura pada Juni tahun lalu, Kim dan Trump menyatakan tekad untuk menjalankan langkah menuju penghapusan senjata nuklir serta membangun perdamaian "yang abadi dan stabil".
Bagaimana faktanya? Kedua belah pihak tampaknya belum sungguh-sungguh percaya dan belum mengimplementasikan janji Juni tersebut.
Amerika Serikat pun masih memainkan politik tarik ulur dengan Korut.
Trump pernah mengatakan bahwa pertemuannya yang kedua kali dengan Kim kemungkinan akan berlangsung pada Januari atau Februari tahun ini.
Tetapi, Trump bulan lalu menulis di Twitter bahwa ia "tidak tergesa-gesa."
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo tahun lalu beberapa kali berkunjung ke Pyongyang namun AS dan Korea Utara belum menjadwalkan kembali pertemuan antara dirinya dan pejabat tinggi Korut Kim Yong Chol setelah pertemuan tiba-tiba dibatalkan pada November.
Pyongyang telah menuntut Washington untuk mencabut sanksi-sanksi serta menyatakan secara resmi bahwa Perang Korea 1950-1953 berakhir.
Tuntutan itu merupakan persyaratan yang diajukan Korut bagi penerapan langkah awal dan unilateral menuju denuklirisasi oleh Korea Utara, termasuk melucuti lapangan uji coba nuklir satu-satunya dan fasilitas mesin peluru kendali utama.
Utusan khusus AS untuk Korea Utara, Stephen Biegun, bulan lalu menekankan bahwa Washington tidak berniat melonggarkan sanksi terhadap Korut namun setuju untuk membantu Korea Selatan mengirimkan obat-obatan flu ke Korea Utara.
Biegun mengatakan kerja sama seperti itu mungkin dapat meningkatkan diplomasi nuklir.
Hingga kini, kedua belah pihak masih saling menaja, mengukur langkah apa yang paling bisa dilakukan untuk "menaklukkan" lawannya. AS masih menghitung cara yang tak membuat dirinya harus kehilangan dominasi dan di sisi lain Korut pun tak mau tinggal dia, hanya menunggus belas kasih Washington.
Bukan tidak mungkin, diam-diam Korut pun sedang bersiap-siap memperkuat arsenal dan kekuatan nuklirnya. Bukankah untuk menciptakan perdamaian juga harus ada kesiapan untuk menghadapi peperangan. Seperti ujaran yang berbunyi Qui desiderat pacem, bellum praeparat (siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang).
Itu sebabnya, kita bisa melihat hubungan AS dan Korut bagaikan hubungan benci - rindu, mendekat tapi siap berlari menjauh.