Bisnis.com, KUPANG – Pemilihan Umum (Pemilu) dalam sebuah negara demokrasi, sudah menjadi sebuah rutinitas yang harus dilaksanakan untuk menentukan regenerasi kepemimpinan bangsa.
Atas dasar itu, partisipasi politik masyarakat dalam pemilu merupakan kunci sukses menuju terpilihnya pemerintahan yang berwibawa dan demokratis.
Dalam sejarah, Bangsa Indonesia telah melaksanakan beberapa kali pemilihan umum yang dimulai pada masa Orde Lama tahun 1955 diikuti 172 konstestan pemilu.
Kemudian pada masa Orde Baru, pemilu dilaksanakan sebanyak enam kali, yakni pemilu tahun 1971 yang hanya diikuti 10 kontestan, kemudian dilanjutkan pemilu tahun 1977, 1987, 1992, 1997 yang hanya diikuti oleh tiga kontestan, yakni Golkar, PPP dan PDI.
Pada Era Reformasi, Bangsa Indonesia mengalami empat kali pemilu, yakni pemilu tahun 1999, 2004, 2009, dan 2014. Dan, di era milenial, Bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu pada April 2019.
Di balik cerita sukses dan segala macam kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu tersebut, ada satu isu penting yang selalu datang mendera masyarakat, yakni gerakan moral memboikot pemilu, dengan cara tidak menggunakan hak suaranya pada saat pemilu tiba.
Gerakan moral tersebut kemudian lebih populer dengan sebutan golongan putih (golput), sebagai akibat dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan yang ada, sehingga fenomena golput ini diduga akan selalu mengudara sebagaimana calon pemimpin yang terus bermunculan.
Pengamat politik dari Arbi Sanit menilai golput adalah usaha sadar untuk tidak memilih. Ini menandakan bahwa golput bukan hanya gerakan protes yang dilakukan oleh masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat kritis pada khususnya.
Akan tetapi, golput itu telah menyatu ke berbagai kalangan, dengan memperbaiki serta mencari alternatif dalam rangka penyempurnaan sistem politik di Indonesia.
Golput terus menyeruak ke permukaan bukan tanpa sebab, tetapi ada tiga faktor yang menurut Arbi Sanit menjadi penyebab terjadinya golput di Indonesia, yakni apatis (masa bodoh), anomi (terpisah) dan alienasi (terasing).
Sikap apatis ini terjadi sebagai akibat dari ketertutupan terhadap rangsangan politik, karena bagi seseorang politik tidak memberikan manfaat dan kepuasaan, sehingga golongan ini tidak mempunyai minat dan perhatian terhadap politik.
Sedang, sikap anomi lebih merujuk pada ketidakmampuan seseorang, terutama kepada keputusan yang diantisipasi. Faktor kedua ini masih mengakui bahwa kegiatan politik adalah sesuatu yang berguna, akan tetapi pengakuan tersebut tidak dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik pada faktor kedua ini.
Sementara sikap alienasi merupakan salah satu sikap tidak percaya pada pemerintah, yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai dampak terhadap dirinya.
Itulah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi golput, yang kemudian memunculkan berbagai macam klarifikasi, seperti golput teknis, yakni keliru menandai surat suara atau tidak hadir ke TPS, golput teknis politis, yakni tidak memilih karena tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Selain itu, ada juga fenomena golput politis, yakni seseorang merasa tidak mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia, atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa kepada perubahan dan perbaikan, dan golput ideologis, yakni kelompok golput yang beranggapan bahwa demokrasi dalam mekanismenya tidak dapat dipercaya.
Uraian di atas menggambarkan bahwa golput merupakan perbuatan yang tidak memberikan aspirasi yang positif terhadap pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Pemilihan umum, baik pilkada, pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, merupakan serangkaian pemilihan yang dalam penyelenggaraannya dijamin oleh Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011. Sehingga, desain pemilu yang dilaksanakan, selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Akan tetapi, pelaksanaan pemilu pada April 2019, dinilai banyak kalangan hanyalah satu babak dari kisah "bongkar pasang" pesta para petualang politik, yang dikhawatirkan akan memunculkan lebih banyak lagi golput di Indonesia.
Kesadaran Mahasiswa
Atas dasar itu, Anggota Komisi I DPR-RI Prananda Surya Paloh mengajak para mahasiswa Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur, agar tidak golput pada saat berlangsungnya Pemilu pada April 2019.
Bangsa Indonesia akan menghadapi permasalahan yang cukup kompleks, seperti persoalan politik identitas, menguatnya isu agama, serta golput, sehingga mahasiswa sebagai masyarakat intelektual diharapkan mampu menjadikan dirinya sebagai pemilih yang rasional.
"Jangan gunakan emosi atau kesukaan semata-mata dalam menentukan pilihan tetapi kedepankan pilihan pada unsur visi, misi, platform, dan gagasan dari sosok yang dipilih. Ini baru namanya pemilih yang rasional," katanya.
Antropolog budaya Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD menilai bahwa orang menjadi golput karena sosok pemimpin yang ditampilkan serta gaya kampanyenya yang ditampilkan pun terkesan tidak berkualitas, sehingga tidak membangkitkan hasrat warga untuk mengambil bagian dalam suatu pesta demokrasi.
"Saya pernah menerima jawaban dari warga yang pernah mengatakan bahwa daripada bersusah-susah mengikuti Pemilu, lebih baik dan lebih aman menjadi golput saja. Saya menduga, ini karena kampanye calon tidak berkualitas," ucapnya.
Namun, pengamat otonomi daerah Mikhael Tommy Susu menilai bahwa hubungan parpol dengan mahasiswa tidaklah renggang dalam makna leksikal, tetapi dalam koridor status kelembagaan, telah menjadikan kondisi eksisting (yang ada) seperti rel kereta api.
Artinya, secara kasat mata hubungan parpol dengan mahasiswa itu renggang, karena idealisme parpol jelas termuat dalam AD/ART parpol, sedang idealisme mahasiswa adalah kebenaran universal yang terbingkai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap statuta konstitusi negara dan direkonstruksi menjadi idealisme publik.
Kondisi ini dinilai wajar, sehingga para mahasiswa menjadi sasaran imbauan partai politik agar tidak menjadi kelompok golongan putih pada Pemilu 2019.