Bisnis.com, JAKARTA -- Direktur Keuangan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) Hartono tidak berkomentar usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Diperiksa sejak pagi, Hartono yang hadir dalam kapasitasnya sebagai saksi keluar meninggalkan gedung KPK sekitar pukul 19.30 wib.
Wakil Pimpinan KPK Laode M. Syarif sebelumnya mengatakan pemeriksaan terhadap Hartono dilakukan untuk mendalami keterlibatan-keterlibatan perusahaan dalam kasus Meikarta.
"Ya, kan itu adalah proyek yang sangat besar dan ada beberapa perusahaan yang terlibat disitu. Jadi, semua informasi apakah proses suap menyuap itu merupakan bagian dari kegiatan perusahaan, kegiatan individu, asal uangnya dari mana itu pasti akan diteliti karena berdasarkan informasi-informasi itulah kita akan menemukan langkah-langkag berikutnya," ujar Laode terkait dengan pemeriksaan Hartono di KPK, Jakarta, Senin (5/11/2018).
PT MSU merupakan penyumbang terbesar atas laba bersih yang diperoleh oleh PT Lippo Cikarang (LPCK) pada kuartal ketiga 2018 yang berakhir 30 September 2018.
Laba bersih Lippo Cikarang sebesar Rp2,90 triliun, naik 593%. Dari total keseluruhan laba bersih tersebut, sebesar Rp2,35 triliun berasal dari dekonsolidasi anak perusahaan LPCK, PT Mahkota Sentosa Utama.
Baca Juga
Dari rilis resmi yang diterbitkan LPCK 31 Oktober lalu, perusahaan tersebut melaporkan total pendapatan sebesar Rp1,84 triliun, meningkat sebesar 50% dari periode yang sama tahun 2017.
Sementara itu, laba kotor yang diperoleh adalah Rp1,05 triliun, naik 102%.
Dalam keterangan resminya, Presiden Direktur Lippo Cikarang Tbk., Simon Subiyanto menyatakan Meikarta adalah proyek yang prospektif meskipun ada proses hukum untuk masalah korupsi yang kini melanda Lippo Grup -- selain melemahnya pasar properti.
“Hasil kuartal ketiga 2018 kurang memenuhi harapan kami, terutama karena pasar properti di Indonesia melemah selama periode tersebut. Namun, melalui proyek Meikarta, Lippo Cikarang memiliki proyek yang berkesinambungan untuk pertumbuhan di masa depan,” kata Simon
Subiyanto, Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK).
Saat ini, LPCK telah menyerahkan dua menara perumahan Meikarta CBD, Irvine dan Westwood, kepada pelanggan dengan total 863 unit apartemen dengan nilai Rp709 miliar.
Simon menilai hal tersebut sebagai komitmen LPCK untuk menyerahkan unit apartemen tepat waktu.
Di KPK sendiri saat ini ada empat hal yang tengah didalami dari pihak Lippo, yaitu:
1. Bagaimana proses perencanaan hingga pembangunan proyek Meikarta
2. Sejauh mana kontribusi keuangan Lippo group pada proyek tersebut
3. Sumber dana suap apakah ada atau tidak ada yang berasal dari korporasi
4. Apakah ada atau tidak perintah dari pejabat di Lippo group ke anak-anak perusahaan untuk pemberian suap
Sementara itu, untuk pihak Pemkab Bekasi dan Pemprov Jawa Barat KPK mendalami beberapa hal.
"Untuk pihak Pemkab dan Pemprov kami dalami proses perizinan dan rekomendasi terkait perizinan Meikarta. KPK menelusuri rangkaian proses perizinan yang terkait dengan kasus dugaan suap ini," ujar Febri, Jumat (2/11/2018).
KPK telah menetapkan Direktur Operasional PT Lippo Grup Billy Sindoro sebagai salah satu tersangka kasus dugaan suap perizinan proyek Pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Selain Billy, KPK menetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin sebagai tersangka penerima.
KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji kepada Bupati Bekasi dan kawan-kawan terkait pengurusan perizinan proyek Pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Selain itu, KPK menetapkan tujuh orang lain sebagai tersangka, yaitu sebagai pihak pemberi Taryudi, Konsultan Lippo Grup; Fitra Djaja Kusuma, Konsultan Lippo Grup; dan Henry Jasmen, Pegawai Lippo Grup.
Sebagai pihak penerima ditetapkan tersangka sebagai berikut, yaitu Jamaludin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi; Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi; Dewi Tisnawati, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi; dan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek Meikarta seluas total 774 hektar diduga dibagi ke dalam tiga fase, yakni fase pertama 84,6 ha; fase kedua 252,6 ha; dan fase ketiga 101,5 ha.
Berdasarkan dugaan KPK, pemberian dalam perkara ini sebagai bagian dari komitmen fee proyek pertama dan bukan pemberian pertama dari total komitmen Rp13 miliar melalui Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Pemadam Kebakaran, dan DPM-PTT.
Diduga realisasi pemberian sampai saat ini adalah Rp7 miliar melalui beberapa kepala dinas pada April, Mei, dan Juni 2018.
Sementara itu, dari lokasi OTT KPK mengamankan barang bukti berupa Uang SGD90 ribu dan uang dalam pecahan Rp100 ribu total Rp513 juta. KPK juga sudah mengamankan tiga unit mobil, yakni Toyota Avanza, Toyota Innova, dan BMW.
Sebagai pihak penerima ditetapkan tersangka sebagai berikut, yaitu Jamaludin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi; Sahat MBJ Nahor, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi; Dewi Tisnawati, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi; dan Neneng Rahmi, Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Pihak yang diduga penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Khusus untuk Jamaludin, Sahat MBJ Nahor, Dewi Tisnawati, dan Neneng Rahayu disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, pihak pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ancaman pidana untuk penerimaan suap atau gratifikasi sangat tinggi yaitu maksimal 20 tahun atau seumur hidup (Pasal 12 a, b atau Pasal 12 B).