Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung memperpanjang masa penahanan tersangka mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Galaila Agustiawan selama 40 hari ke depan sejak 14 Oktober-22 November 2018 di Rumah Tahanan Pondok Bambu Jakarta Timur.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Mukri mengungkapkan bahwa perpanjangan masa penahanan selama 40 hari itu sudah sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, maka penahanan dapat diperpanjang 40 hari ke depan, selama pihak yang bersangkutan telah ditahan 20 hari pertama.
"Memang benar, terhadap tersangka (Karen Galaila Agustiawan) telah dilakukan perpanjangan masa penahanan selama 40 hari sejak 14 Oktober sampai 22 November 2018," tuturnya Jumat (19/10/2018).
Menurut Mukri, perpanjangan masa penahanan itu dilakukan tim penyidik Kejaksaan Agung untuk kepentingan penyempurnaan kelengkapan berkas perkara agar bisa segera dilimpahkan ke tahap penuntutan.
"Perpanjangan ini untuk kepentingan penyempurnaan kelengkapan berkas perkara," katanya.
Sebelumnya, tersangka Karen Galaila Agustiawan telah ditahan selama 20 hari pertama sejak 24 September-13 Oktober 2018 di Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAMPidsus) Kejaksaan Agung, Adi Toegarisman menjelaskan alasan tim penyidik melakukan penahanan terhadap Karen Galaila Agustiawan yaitu untuk memudahkan tim penyidik melakukan penyidikan pada perkara dugaan tindak pidana korupsi investasi perusahaan di Blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009. Selain itu, Adi juga menjelaskan penahanan dilakukan agar tersangka Karen Agustiawan tidak melarikan diri dan menghilangkan barang bukti selama penyidikan perkara itu berjalan.
Pada perkara tersebut, Kejaksaan Agung juga telah melakukan penahanan terhadap dua tersangka lain yaitu mantan Manager Merger dan Investasi (MNA) Direktorat Hulu PT Pertamina Bayu Kristanto dan Mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Frederik Siahaan. Namun, satu tersangka yang tersisa yaitu mantan Chief Legal Council and Compliance PT Pertamina Genades Panjaitan masih belum ditahan.
Seperti diketahui, Kasus tersebut terjadi pada 2009, di mana Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10% terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase -BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai US$31 juta.
Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari.
Ternyata Blok BMG hanya dapat bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi.
Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Hasil penyidikan Kejagung menemukan ada dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara cq Pertamina sebesar US$31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp568 miliar.