Bisnis.com, JAKARTA – Alfred Russel Wallace, seorang penjelajah Indonesia tahun 1854-1862 yang mendokumentasikan karyanya dalam tulisan berjudul The Malay Archipelago yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kepulauan Nusantara.
Di bangku sekolah, Wallace dikenal sebagai penemu garis imajiner, Wallace Line untuk membagi wilayah speses di Indonesia. Dia membagi keaneka ragaman hayati itu dari sebelah Timur Filipina, melalui Selat Makassar, sampai ke perairan Bali dan Nusa Tenggara.
Salah seorang peneliti dan sejarawan dari National University of Singapore, John van Wyhe, menyatakan buku The Malay Archipelago ini terbilang agak terlambat hadir di Indonesia. Setelah 150 tahun pasca ekspedisi dari Wallace, barulah buku ini diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu. John yang sudah lebih dahulu meneliti dan menulis ulang karya-karya Wallace membagi cerita tentang beberapa kesulitan dan keunikan yang dia temukan selama melakukan riset sejarah tentang sosok Wallace.
"Banyak temuan yang kita dapatkan itu bisa saja salah secara waktu dan tempat. Namun menjadi sangat penting untuk memberi tahu pembaca tentang topik ini," kata John di Perpustakaan Nasional, dalam acara Bedah Buku Kepulauan Nusantara, Jumat (12/10/2018).
Wallace yang akrab dikenal sebagai "Bapak Biogeografi" ini memang memberi banyak sumbangsih atas temuan dia pada ratusan spesies hewan dan tanaman di Indonesia. Tak hanya itu, dokumen perjalanan Wallace sangat bersifat pribadi sehingga sarat dengan cerita-cerita interaksi antar etnis dalam setiap perjalanannya.
Dia mendokumentasikan perjalanannya ke dalam buku berjudul The Malay Archipelago. Perjalanan keilmuan Alfred serta daerah Wallacea merupakan kisah klasik yang tidak hanya menceritakan tentang temuan – temuan biodiversitas dan keanekaragaman hayati, namun juga kekayaan budaya, bahasa, serta peta perpindahan manusia purba di Nusantara. Beberapa contoh ada jejak perjalanan Wallace dari Sulawesi hingga Lombok, dan interaksi dengan raja Gowa sampai raja Lombok.
Mantan Ketua Umum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) periode 2009-2018, Sangkot Marzuki mengatakan Wallace dan Darwin adalah dua pribadi yang paling banyak mempengaruhi penemuan keanekaragaman hayati di dunia.
Namun ada perbedaan paling mendasar dari Wallace ketimbang Darwin, yakni semangat keingintahuan yang tinggi tanpa memikirkan apresiasi. Buktinya, ketika Wallace kembali, dia memberikan laporan hasil perjalananya kepada Darwin, tak lantas dia langsung publikasikan demi kepentingan pribadi.
Dalam perjalanan mengelilingi sebagian dari Indonesia, Wallace mengajak seorang pemuda asal Serawak, Ali, untuk menjadi asisten pribadinya. Wallace sangat membutuhkan Ali sebagai ahli bahasa yang membantu dia berkomunikasi dengan para tetua di tiap pulau.
Buku kumpulan catatan Wallace ini pun akhirnya terbit pada 1869, dan para cetak pertama ada 1000. Daratan Eropa pun mulai menyebar dan menerbitkan karya Wallace dalam berbagai bahasa di Inggris, Jerman, Belanda, sampai Amerika.
"Cara penulisan Wallace itu sangat mudah dimengerti, dan sangat luwes dibaca namun dalam bahasa Inggris. Itu yang membuat penerjemah kesulitan untuk menuliskannya. Apalagi bukan hanya soal spesies yang dibahas, juga soal manusia, ras, dan budaya," kata Sangkot.
Sejarawan dan Pendiri Komunitas Bambu, JJ Rizal mengatakan, penerbitan yang dia bina memang memutuskan nekat menerbitkan karya Wallace meski terlambat 150 tahun. JJ Rizal merasa bersalah karena belum memperkenalkan Wallace kepada pembaca.
"Wallace ini cerita orang yang tidak beres sekolahnya petualangan yang menggembirakan banyak yang lucu. Misalnya saat dia makan duren di Ternate rasanya gimaan gituu, kemudian soal orang utannya yang meninggal dia menangis," jelas JJ Rizal.
JJ Rizal menilai buku The Malay Archipelago atau Kepulauan Nusantara itu memiliki kualitas sastra yang baik dengan momen sejarah dan ilmu pengetahuan. Dia pun memberanikan diri bersama tim penerbit Komunitas Bambu untuk menerbitkan buku Wallace dalam bentuk hard cover.