Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi berencana melakukan pemeriksaan terhadap Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir. Pemeriksaan sebagai saksi pada Jumat (28/9/2018) merupakan yang ketiga kali bagi Sofyan Basir.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (27/9/2018) membenarkan ihwal jadwal pemeriksaan Sofyan Basir.
"Benar diagendakan pemeriksaan besok Jumat, 28 September 2018 utk tsk IM," ujarnya.
Tersangka bernisial IM dalam kasus ini adalah mantan Menteri Sosial Idrus Marham.
Pemeriksaan kali ini merupakan pemeriksaan ketiga KPK terhadap orang nomor satu PT PLN tersebut dalam kelanjutan proses penyidikan kasus dugaan suap kerja sama proyek PLTU Riau-1.
Lantas, apakah pemeriksaan besok akan melahirkan "Jumat Keramat", istilah yang merujuk pada peristiwa saat KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka?
Sejauh ini belum ada informasi soal kemungkinan tersebut. Menurut Febri, pemeriksaan besok terkait dengan aliran dana proyek PLTU Riau.
"Belum ada Sprindik," ujar Febri.
Seperti diketahui, Sprindik adalah surat perintah penyidikan yang di dalamnya [biasanya] menunjuk seseorang sebagai tersangka.
Pemeriksaan Ketiga
Sofyan terakhir kali diperiksa KPK pada 7 Agustus 2018, penjadwalan ulang dari panggilan 31 Juli 2018. Saat itu, seusai pemeriksaan Sofyan Basir mengatakan dirinya tidak menerima aliran dana terkait proyek PLTU Riau-1.
"Oh, enggak. Enggak ada,"ujar Sofyan
KPK menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini, yakni Eni Maulani Saragih dari Komisi VII DPR RI dan Idrus Marham, mantan Menteri Sosial RI yang selama ini diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar.
Sementara itu, Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham di BlackGold Natural Resources Ltd., telah dijadikan terdakwa dalam kasus ini.
Senin (24/9/2018) lalu, KPK melalui Jaksa Penuntut Umum melimpahkan dakwaan dan berkas perkara untuk terdakwa kasus PLTU Riau-1, Johannes Budisutrisno Kotjo, ke pengadilan.
Sebelumnya, berkas dan tersangka telah dilimpahkan oleh penyidik KPK pada 10 September 2018.
"Selanjutnya kami menunggu jadwal persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk terdakwa pertama di kasus PLTU Riau 1 ini," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (25/9/2018).
Febri melanjutkan, saat menjadi tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).
Namun, KPK menyatakan akan mencermati keseriusan tersangka di persidangan.
"Karena syarat penting dapat dikabulkan sebagai JC adalah mengakui perbuatan, membuka peran pihak lain seterang-terangnya. Konsistensi dan sikap kooperatif di sidang juga menjadi perhatian KPK," ucap Febri.
Johannes ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 15 Juli 2018. KPK mengamankan Eni Maulani Saragih, anggota Komisi VII DPR RI, di rumah mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang kini menjadi tersangka.
Sehari sebelumnya KPK mengamankan Johannes Kotjo yang tercatat sebagai pemegang saham BlackGold Natural Resources Ltd.
BlackGold adalah perusahaan energi multinasional yang menerima Letter of Intent (LOI) dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk mendapatkan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) proyek PLTU Riau-1.
KPK memberlakukan larangan bepergian ke luar negeri terhadap dua orang lainnya dalam kasus PLTU Riau-1.
Pada 17 September 2018, KPK mencekal pendiri PT Borneo Lumbung Energy, Samin Tan. Satu hari kemudian, pada 18 September 2018, KPK mencekal Neni Afwani, direktur di perusahaan tersebut.
Sejumlah pihak pun telah diperiksa, yakni perusahaan dan anak perusahaan BUMN, perusahaan asing yang masih menjadi bagian atau mengetahui skema kerjasama PLTU Riau 1, Kepala Daerah, tenaga ahli, dan anggota legislatif.
KPK masih menggali proses persetujuan atau proses sampai dengan rencana penandatanganan kerja sama dan juga skema kerja sama dalam kasus PLTU Riau-1.
Sebagai pihak yang diduga penerima, Eni Saragih dan Idrus Marham disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, sebagai pihak pemberi, Johanes Budisutrisno didakwa melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.