Bisnis.com, JAKARTA -- Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto membantah anggapan bahwa dirinya menghalang-halangi Eni Maulani Saragih memberikan pernyataan kepada penyidik KPK.
"Enggak, enggak ada. Saya cuma nanya saja apakah benar ada dana dari Partai Golkar yang dari Eni masuk Munaslub," ujar Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (14/9/2018).
Terkait dengan aliran dana yang mengalir ke Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar 2017 itu sendiri, terpidana kasus KTP elektronik tersebut tidak membicarakannya secara gamblang.
"Lah, menurut Eni ada. Apa ada buktinya? Jadi, kan, saya biar gimana pun prihatin dengan Partai Golkar," tutur Setnov, panggilan akrab Setya Novanto.
Hal tersebut disampaikan Setnov berkaitan dengan kunjungannya terhadap Eni di rutan KPK beberapa waktu lalu.
Pada 7 September 2018, Kuasa Hukum Setya Novanto, Firman Wijaya, mengatakan kepada Bisnis bahwa menurut kliennya kunjungan tersebut tidak lebih dari kunjungan biasa.
"Menurut Pak Nov, ya, tengok biasa saja. Ya, atensi sebagai mantan pimpinan Partai Golkar terhadap anak buahnya," ujar Firman, Sabtu (8/9/2018).
Hari ini, Jumat (14/9/2018) Setya Novanto menceritakan sendiri kepada awak media soal kunjungan tersebut.
"Eni kan karena anak buah saya. Jadi, saya jelaskan ke Pak Maqdir [Ismail, Kuasa Hukum Setnov] juga, bahwa namanya anak buah kan saya merasakan juga sebagai tersangka, jadi saya membesarkan hati," ujar Setnov menjelang salat Jumat, di gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan tersebut, aku Setnov, dirinya juga meminta Eni bersikap terbuka kepada KPK demi kelancaran penyidikan kasus PLTU Riau-1.
"Ya saya dateng untuk membesarkan hati, supaya kooperatif dengan KPK dan dijelaskan secara terbuka, kalau gitu kan bisa ringan hukumannya. Itu sebenarnya," ucapnya.
Seusai menjalani pemeriksaan pada 7 September 2018 lalu, Eni mengatakan terdapat lima hal dari pembicaraan antara dirinya dan Setnov, dan lima hal tersebut telah disampaikan ke penyidik KPK.
Eni juga mengaku apa yang disampaikan Setya Novanto saat kunjungan membuat dirinya merasa tidak nyaman.
Menanggapi hal tersebut, Setya Novanto mengatakan hal sebaliknya, bahwa Eni justru mengucapkan terima kasih.
"Enggak ada. Baik saja, malah (katakan) terima kasih," papar Setnov.
Terkait dengan perkembangan perkara PLTU Riau-1, KPK telah melakukan pelimpahan berkas dan tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo, salah satu tersangka kasus dugaan suap kesepakatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau-1, pada pada Senin (10/9/2018) lalu.
Johannes ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 15 Juli 2018, setelah sehari sebelumnya, selain mengamankan pemegang saham BlackGold Natural Resources tersebut, KPK mengamankan Eni Maulani Saragih, anggota Komisi VII DPR RI, di rumah mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang kini menjadi tersangka.
Sidang rencananya akan dilaksanakan di PN Tipikor Jakarta Pusat.
Tiga orang tersangka telah ditetapkan KPK dalam kasus ini, yakni Eni Maulani Saragih dari Komisi VII DPR RI, Johannes Budisutrisno Kotjo, selaku pemegang saham di BlackGold Natural Resources Ltd, dan Idrus Marham, mantan Menteri Sosial RI yang selama ini diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar.
Sejumlah pun pihak telah diperiksa, yakni perusahaan dan anak perusahaan BUMN, perusahaan asing yang masih menjadi bagian atau mengetahui skema kerjasama PLTU Riau 1, Kepala Daerah, dan tenaga ahli.
KPK masih menggali proses persetujuan atau proses sampai dengan rencana penandatanganan kerja sama dalam proyek PLTU Riau-1.
Skema kerja sama dalam kasus PLTU Riau-1 juga menjadi fokus KPK.
Sebagai pihak yang diduga penerima, Eni Saragih dan Idrus Marham disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, sebagai pihak yang diduga pemberi, Johanes Budisutrisno disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.