Bisnis.com, JAKARTA – Tensi antara Amerika Serikat (AS) dan China bisa kian panas. Bukan karena isu dagang, kali ini pemerintahan Presiden Donald Trump mempertimbangkan sanksi terhadap pejabat-pejabat senior dan perusahaan-perusahaan China terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Diskusi dalam pemerintah AS tentang China bertambah seputar kemungkinan memberikan penalti ekonomi pada Negeri Tirai Bambu, merespons laporan penahanan etnis Uighur dan warga Muslim lainnya di China yang telah memicu tumbuhnya kecaman internasional.
Seorang pejabat AS mengungkapkan gagasan sanksi tersebut masih dalam tahap diskusi dan tampaknya tidak akan diputuskan dalam waktu dekat.
Jika terjadi, keputusan sanksi itu akan menjadi langkah langka yang diambil pemerintahan Trump terhadap China terkait HAM. Seperti diketahui, hubungan AS dan China mendingin di tengah berlangsungnya perang perdagangan dan upaya untuk menyelesaikan kebuntuan atas persenjataan nuklir Korea Utara.
Pada Selasa (11/9/2018), Departemen Luar Negeri AS menyatakan keprihatinan mendalam atas "tindakan keras" China yang memburuk terhadap minoritas Muslim di wilayah Xinjiang.
“Kami sangat prihatin dengan tindakan keras yang memburuk, tidak hanya pada etnis Uighur (tetapi juga) Kazakh, Muslim lainnya di wilayah China itu,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Heather Nauert dalam jumpa pers, seperti dikutip Reuters.
Ia mengakui Departemen Luar Negeri telah menerima surat dari kelompok bipartisan anggota parlemen AS pada akhir Agustus. Surat itu meminta Menteri Luar Negeri Mike Pompeo untuk menjatuhkan sanksi pada sejumlah pejabat China yang dituding berada di balik tindak keras itu.
Pejabat-pejabat yang dimaksud di antaranya adalah Chen Quanguo, ketua Partai Komunis di Xinjiang yang juga anggota politbiro Partai tersebut.
Anggota parlemen AS juga mengupayakan pertimbangan sanksi terhadap sejumlah perusahaan China yang terlibat dalam membangun kamp tahanan serta menciptakan sistem pengawasan yang digunakan untuk melacak dan memantau warga Uighur, menurut salah satu sumber di kongres.
“Kami memiliki banyak alat yang bisa digunakan. Tapi saya tidak akan mengemukakan langkah potensial yang mungkin diambil pemerintah AS. Kami tidak akan membeberkan sanksi apa pun yang mungkin atau tidak mungkin terjadi,” tambah Nauert.
Sanksi AS dapat diberlakukan berdasarkan Global Magnitsky Act, undang-undang federal yang memungkinkan pemerintah AS untuk menargetkan pelanggar hak asasi manusia di seluruh dunia dengan membekukan aset AS, larangan perjalanan AS, dan larangan bagi warga Amerika untuk menjalin hubungan bisnis dengan mereka.
Pemerintah China sebelumnya menyerukan kepala urusan hak asasi manusia PBB Michelle Bachelet untuk menghormati kedaulatannya, setelah Bachelet mendesak China untuk mengizinkan pemantau mendatangi wilayah yang sedang bergolak serta menyatakan keprihatinan tentang situasi di sana.
Namun China berdalih bahwa Xinjiang menghadapi ancaman serius dari gerilyawan dan separatis Islam yang merencanakan serangan. Gerilyawan juga disebut telah memicu ketegangan antara minoritas Uighur yang sebagian besar adalah Muslim dan anggota mayoritas etnis Han China.
Bulan lalu, panel HAM PBB menyatakan telah menerima laporan kredibel bahwa sekitar satu juta warga etnis Uighur mungkin telah ditahan di Xinjiang, dan menyerukan agar mereka dibebaskan.
"Ada laporan kredibel di luar sana bahwa ribuan orang telah ditahan di pusat penahanan sejak April 2017, dan jumlahnya cukup signifikan dari apa yang dapat kami katakan sejauh ini," kata Nauert.